Langsung ke konten utama

Syariat Islam Khusunya di Aceh


Syariat Islam Sebagai Agenda

Di tengah hiruk pikuknya dinamika keterbukaan di era reformasi ini, berbagai kelompok Islam kembali menyuarakan syariat Islam sebagai sebuah agenda yang harus mendapat perhatian. Tidak hanya itu, tuntutan yang mengusung syariat Islam juga telah sampai pada upaya positifikasi syariat kedalam perundang-undangan nasional baik di pusat maupun daerah. Disyahkannya Undang-Undang Perbankan Syariah oleh DPR beberapa waktu lalu adalah bentuk dari semakin munculnya Syariat Islam sebagai agenda nasional.

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/publikasi/article/322-opini/4227-fenomena-perda-syariat-islam-di-daerah
Copyright © tokohindonesia.com

Perlu ada pemahaman yang benar tentang penyusunan perda yang bersumber dari syari’ah ini, termasuk tehnik penyusunan Perda secara umum, sehingga tidak menimbulkan salah pengertian dan dianggap keluar dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lahirnya Perda-perda yang bersifat khusus di daerah-daerah termasuk Perda yang bersumber dari nilai-lai syari’ah, seharusnya dipahami sebagai bentuk penghormatan terhadap keragaman daerah di Indonesia sebagai sebuah Negara yang plural, tentu dengan memperhatikan kekompakan hirarkis dengan perundang-undangan yang ada di atasnya.

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/publikasi/article/322-opini/4227-fenomena-perda-syariat-islam-di-daerah
Copyright © tokohindonesia.com
Perlu ada pemahaman yang benar tentang penyusunan perda yang bersumber dari syari’ah ini, termasuk tehnik penyusunan Perda secara umum, sehingga tidak menimbulkan salah pengertian dan dianggap keluar dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lahirnya Perda-perda yang bersifat khusus di daerah-daerah termasuk Perda yang bersumber dari nilai-lai syari’ah, seharusnya dipahami sebagai bentuk penghormatan terhadap keragaman daerah di Indonesia sebagai sebuah Negara yang plural, tentu dengan memperhatikan kekompakan hirarkis dengan perundang-undangan yang ada di atasnya.

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/publikasi/article/322-opini/4227-fenomena-perda-syariat-islam-di-daerah
Copyright © tokohindonesia.com

AKHIR 2012 silam kita disuguhkan berita memiriskan hati. Seorang remaja putri, PE, di Kota Langsa, Aceh, memilih mengkhiri hidupnya dengan gantung diri karena tak sanggup menanggung malu dan aib keluarga setelah polisi syariat atau Wilayatul Hisbah (WH) Langsa menuduhnya pelacur (Prohaba, 4/9/12). Media lalu menjustifikasi asumsi tersebut melalui pemberitaan.

Kasus tersebut sempat menggelinding menjadi perdebatan hangat, mulai di warung kupi Aceh, hingga di situs jejaring sosial (Twitter dan Facebook) serta milis para jurnalis. Publik yang bersimpati, menduga ada yang tidak beres dengan kinerja WH termasuk cara media memberitakan kasus PE ini.
Awalnya, kasus ini nyaris luput dari perhatian kita jika saja surat PE sebelum meninggal tak terekspose ke media. Dalam suratnya, PE menulis, bahwa keputusan gantung diri merupakan jalan pintas untuk memupus rasa malu setelah muncul berita yang menuduhnya pelacur. “Ayah…, maafin Putri ya yah, Putri udah malu-maluin ayah sama semua orang. Tapi Putri berani sumpah kalau Putri gak pernah jual diri sama orang. Malam itu Putri Cuma mau nonton kibot (keyboard-red) di Langsa, terus Putri duduk di lapangan begadang sama kawan-kawan Putri.” (Prohaba, 11/09/12)

Dosa Media?
Diakui atau tidak, kita menemukan unsur kesalahan media dalam kasus bunuh diri PE, setidaknya melalui opini yang didramatisir sedemikian rupa. PE jelas menjadi korban dari opini yang salah.
Meski pun benar PE seorang pelacur, media tetap tidak boleh menghakimi (the trial by press) melalui pemberitaan. Apalagi, dari berita yang kita simak (aceh.tribunnews, 4/9) menunjukkan media sama sekali tak memberi ruang untuk PE membela diri. Hal ini lazim terjadi, karena kebanyakan media tanah air, para wartawannya lebih senang mengutip sumber resmi untuk kelengkapan unsur berita, dan sering mengabaikan korban.

Dalam kasus PE, misalnya, media melakukan blunder. Ini dapat dilihat dalam bait demi bait berita. Selain memberi ruang pada sumber anonim, media tak merasa penting melakukan konfirmasi dan verifikasi kepada sumber berita, yang notabene adalah korban. Padahal, undang-undang pers tak memberi ruang untuk wartawan mengedepankan asumsi plus opini dalam menulis berita. Kenapa hal ini terjadi?

Hasil survei Dewan Pers tahun 2007 silam, menunjukkan bahwa 68 persen wartawan Indonesia tidak membaca Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Selain Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, KEJ juga menjadi pedoman dan rambu-rambu yang mengatur tatacara meliput dan menulis/menyiarkan berita. Ketika para jurnalis pemilik profesi sudah tak peduli pada kode etik yang mengatur tentang profesinya, sudah dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi. Dalam KEJ secara tegas dinyatakan, bahwa wartawan dilarang memasukkan opini dalam berita.

Dalam kasus PE, misalnya, sepatutnya media juga memperlakukan asas cover both sides secara seimbang serta lebih hati-hati, setidaknya untuk dua alasan. Pertama, dalam kasus yang masih berupa rumor atau isu. Benar bahwa tugas wartawan adalah memperjelas sebuah isu (rumor) yang masih samar-samar menjadi terang dan jelas duduk persoalannya, agar pembaca dapat mengambil kesimpulan secara benar. Namun, hal itu pun menuntut para wartawan melakukan proses pencarian data dan verfikasi secara ketat, tak cukup hanya sekedar mengambil sumber dari dua belah pihak semata.

Kedua, dalam kasus di mana wartawan hadir langsung menyaksikan peristiwa, dia juga mesti bersikap objektif, dan tak semata-mata menyandarkan berita pada apa yang dilihatnya. Dia butuh check and recheck dari orang-orang yang berada di lingkaran pertama kejadian. Ini penting agar kualitas dan kadar kebenaran dari berita yang ditulisnya memperoleh predikat kebenaran yang cukup.

Paradoks Syariat
Isu Syariat Islam pernah sangat sensitif dibicarakan di Aceh, terutama ketika semangat gerakan pemisahan diri Aceh memuncak sepanjang 1999-2002. Sensitifitas itu dalam hemat saya, setidaknya karena beberapa alasan. Pertama, Syariat Islam bagian dari paket politik yang ditawarkan pemerintah untuk meredam perlawanan masyarakat Aceh. Kelompok pejuang kemerdekaan Aceh kemudian menyimpulkan bahwa syariat tersebut hanya sekedar simbolisasi, bukan syariat substansial, dan lebih sebagai strategi menjinakkan semangat juang masyarakat. Antipati masyarakat Aceh pada Syariat Islam saat itu bukan karena Aceh tidak menginginkan berlakunya hukum Tuhan.

Kedua, orang Aceh terutama dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak ingin isu Syariat Islam itu ‘mengganggu’ dan menghambat kampanye mereka kepada masyarat dunia dan komunitas internasional. Mereka tidak mau dikaitkan dan dicap gerakan radikal yang berafiliasi ke gerakan Islam. Apalagi, ketika isu Syariat Islam tersebut digulirkan, dunia sedang dimabuk euphoria memerangi gerakan terorisme, yang dalam pandangan barat berhubungan erat dengan umat Islam.

Meskipun demikian, Pemerintah tetap memaksakan syariat Islam melalui Undang-undang Nomor 18/2001 tentang Otonomi Khusus untuk Aceh sebagai dasar hukum pemberlakuan Syariat Islam di Aceh. Akibatnya Syariat Islam yang berjalan di Aceh tak pernah benar-benar membumi, melainkan hanya sebatas seremonial: razia pakaian ketat, pembagian rok, cambuk, penulis nama toko menggunakan bahasa Arab, dan lain-lain.

Akibatnya, pola pelaksanaan syariat demikian menjadi tidak substansial serta jauh dari esensi syariat itu sendiri terutama dalam menciptakan tertib nilai. Kita lupa bahwa ada banyak persoalan ‘antisyariat’ yang luput dari perhatian kita, dan penting segera diluruskan. Misalnya, Aceh masuk dalam kategori daerah darurat korupsi, pembabatan hutan secara membabi buta, penyunatan bantuan anak yatim serta praktik-praktik amoral lainnya. Kasus-kasus ini semakin menegaskan munculnya paradoks di balik pelaksanaan Syariat Islam: di satu sisi Aceh berjuluk wilayah yang memberlakukan syariat, tapi di saat bersamaan Aceh juga mempraktikkan sikap anti-syariat seperti disinggung di atas.

Terang saja, ini sangat mengkhawatirkan, karena syariat ternyata tak juga menjadi solusi perbaikan moral anak bangsa serta tak menjadi solusi atas sejumlah permasalahan di Aceh. Selain itu, blunder pelaksanaan hukum syariat juga kian kerap terjadi, baik dilakukan oleh masyarakat sendiri maupun petugas Wilayatul Hisbah (WH): pelaku mesum dipaksa mengulangi perbuatannya setelah tertangkap basah; serta ada oknum WH memperkosa pelaku khalwat yang ditangkap. Kasus-kasus ini memberi coreng pada pelaksanaan syariat di Aceh. Model hukum begini tak pernah ampuh memperbaiki lakon moral. Belum lagi, dalam beberapa kasus hukum diterapkan dengan menganut prinsip mata pisau: tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Muncul gugatan dan protes di masyarakat dan bisa disimak melalui sosial media bahwa hukum secara tegas menjerat masyarakat kecil, namun sering abai terhadap golongan masyarakat status sosial yang lebih tinggi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Dayah Mudi Mesra Samalanga Kab.Bireun NAD

MUDI MESRA Adalah sebuah pesantren atau dalam istilah orang aceh disebut dengan Dayah, yang terletak didesa Mideun Jok Kemukiman Mesjid Raya kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireun.. Dayah ini telah berdiri sejak zaman  Sultan Iskandar Muda    dayah ini terus berkembang dan saat ini menjadi dayah terbesar di Aceh. Saat ini dayah MUDI Mesra berada di bawah pimpinan Syekh Hasanul Basri HG ( Abu MUDI) dengan jumlah santri lebih kurang 6000 orang. 1 . IDENTITAS DAYAH MUDI MESRA a. Sejarah Berdirinya Pesantren MUDI Mesra.Lembaga Pendidikan Islam Ma`hadal Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya berlokasi di desa Mideun Jok Kemukiman Mesjid Raya, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tepatnya di sebelah barat kota industri Lhokseumawe kira-kira 100 km. (Note: pintu gerbang komplek putra) D ayah ini telah didirikan seiring dengan pembangunan Mesjid Raya pada masa Sultan Iskandar Muda. Pimpinan dayah yang pertama dikenal dengan

Wisata Warung Kopi!! Di Aceh donk

Pesona wisata warung kopi di Banda Aceh (sumber: assets.kompas.com) Menjamurnya warung kopi di Banda Aceh menjadi daya tarik baru di Ibu Kota Aceh ini. Bagaimana tidak, tersebarluasnya warung kopi disetiap sudut kota menjadi pemandangan baru di Banda Aceh pasca tsunami. Fenomena ini tentu menjadi hal baru dan unik bagi sebagian orang yang bertapak menuju Banda Aceh. Berbagai persepsi diberikan oleh sebagian orang terhadap banyaknya warung kopi yang ada di ibu kota Aceh ini. Namun, sebagai penulis saya menilai warung kopi merupakan potensi baru wisata kota madani. Mengapa demikian? Warung kopi pada dasarnya memang sebagai tempat untuk minum kopi. Namun, apabila warung kopi diberi penampilan yang berbeda yang memiliki added value tentu menjadi daya tarik tersendiri. Apa lagi di Banda Aceh, warung kopi sudah menjamur tentu menjadi destinasi baru wisata kuliner yang jarang ditemukan di daerah lain. Terlihat wisatawan dan pejabat kota Banda Aceh sedang

Keutamaan Sholat Subuh dan Bangun Pagi Bagi Kesehatan

Kenapa Harus Bangun pagi buta untuk Sholat Subuh?? Bagi seorang muslim mungkin pertanyaan ini dengan mudah dijawab ; karena sholat subuh adalah bagian dari ibadah wajib yang harus dikerjakan sebagai bukti ketaatan pada Tuhannya. Tapi kenapa ya harus pagi buta gitu sholatnya?? lagi enak-enak tidur kok disuruh sholat.??? Pertanyaan-pertanyaan ini untuk sebagian orang mungkin dianggap bodoh dan bisa dianggap nyeleneh. Tapi untuk orang-orang yang berfikir ilmiah pertanyaan tersebut adalah stimulasi ide besar untuk pembuktian. Kenapa harus dibuktikan?? Yang jelas tidak ada satu halpun yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan kepada umatnya tanpa kebermanfaatan. Ringkasan keutamaan sholat Subuh yang disebutkan dalam buku ini antara lain: 1.Sholat Subuh adalah faktor dilapangkannya rezeki 2.Sholat Subuh menjaga diri seorang muslim 3.Sholat Subuh sama dengan sholat malam semalam suntuk 4.Sholat Subuh adalah tolok ukur keimanan 5.Sholat Subuh adalah penyelamat dari neraka