Jangan dikira bahwa madzhab itu hanya untuk orang-orang awam saja, bahkan para ulama besar pun juga bermadzhab.
Di dalam kitab “Al-Imam Asy-Syafi”i, Bainal Madzhabihil Qadim wal
Jadid”, Dr. Nahrawi Abdussalam menuliskan bahwa di antara para pengikut
mazhab Syafi’I adalah Al-Imam Al-Bukhari, seorang tokoh ahli hadits
yang kitabnya tershahih di dunia setelah Al-Quran.
Al-Bukhari memang tokoh ahli hadits dan paling kritis dalam
menyeleksi hadits. Namun beliau bukan ahli ijtihad yang mengistinbath
hukum sendiri sampai setingkat mujtahid muthlaq. Dalam masalah menarik
kesimpulan hukum, beliau menggunakan metodologi yang digunakan dalam
madzhab Syafi’i. Dengan demikian, beliau adalah salah satu ulama besar
yang bermadzhab, yaitu madzhab Syafi’i.
Ada juga di antara murid madzhab As- Syafi’i yang kemudian naik
derajatnya sampai mampu menciptakan metodologi istinbath sendiri,
sehingga beliau kemudian mendirikan sendiri madzhabnya, yaitu Imam
Ahmad bin Hanbal.
Marahkah As-Syafi’i mengetahui muridnya mendirikan madzhab sendiri?
Beliau berkomentar, “Aku tinggalkan Baghdad dan tidak ada orang yang
lebih faqih dari Imam Ahmad bin Hanbal.” Bahkan Imam Syafi’i juga
pernah menimba ilmu hadits kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Guru jadi
murid, murid jadi guru. Begitulah para ulama, mereka tidak malu menimba
ilmu bahkan kepada muridnya sendiri.
Mengapa Bermadzhab? Kalau saja jumlah nash-nash syariah itu hanya
6.000-an ayat Quran plus 7.000-an hadits shahih Bukhari, tentu saja
mudah sekali bagi setiap orang untuk beragama. Tetapi ketahuilah, bahwa
nash-nash syariat jauh lebih banyak dari semua itu. Al-Quran memang
hanya 6.000-an ayat saja, tapi bagaimana dengan hadits nabawi…? Apakah
hadits itu hanya shahih bila Bukhari saja yang mengatakannya? Tentu
saja tidak, sebab Imam Bukhari itu hanya satu dari sekian ratus atau
sekian ribu muhaddits yang ada di dunia ini.
Salah besar bila kita beranggapan hanya hadits Bukhari saja yang
benar dan semua hadits selain yang terdapat dalam kitab shahihnya harus
ditolak. Imam Bukhari itu menghafal lebih dari 600 ribu hadits. Hadits
shahih yang beliau hafal belum semuanya dituliskan. Masih banyak
hadits shahih yang belum beliau tuliskan, atau sudah beliau tulis,
namun dalam kitab lain.
Imam Ahmad, beliau menghafal 1 juta hadits. Belum lagi muhadditsin
lainnya. Ini baru dari sisi jumlah sumber nash syariah, padahal masalah
hokum agama ini tidak semata-mata ditentukan oleh nash-nash saja,
namun lebih jauh dari itu, setiap nash itu masih harus diteliti
kekuatan derajatnya, lalu dikomparasikan antara satu dengan lainnya.
Mengapa harus demikian? Sebab begitu banyak nash-nash syariah itu yang
sekilas antara satu dengan yang lain saling berbeda, bukan hanya
redaksinya tetapi sampai pada masalah esensinya.
Bayangkan, ada dua nash yang sama-sama shahih, keduanya tercantum di
dalam kitab Shahih Bukhari, tapi yang satu mengatakan haram dan yang
lain bilang halal. Kalau sudah demikian, kita akan bilang apa? Tentu
perlu sebuah kajian mendalam dari segala sisi, serta kemampuan khusus
dalam melakukannya. Minimal orang yang melakukan kajian ini punya
kemampuan untuk berijtihad sampai pada tingkat tertentu. Dan harus ada
logika yang kuat untuk bisa mengatakan kesimpulan akhirnya, apakah
hukukmnya halal atau haram.
Lalu kepada siapakah kita menyerahkan masalah ini? Adakah suatu
dewan pakar yang mau mengerjakanannya dengan teliti, cermat dan
lengkap? Jawabnya, para ulama madzhab-madzhab itulah yang telah berjasa
besar untuk melakukan ”mega proyek” itu. Dan mereka -Alhamdulillah-
adalah orang-orang yang shalih, pakar, ahli, jenius serta ikhlash,
mereka tidak pernah minta bayaran.
Masa perkembangan madzhab-madzhab besar dunia fiqih dimulai pada
kira-kira setengah abad setelah kepergian nabi shallallahu alaihi
wasallam yaitu sejak tahun 97 Hijriyah. Ditandai dengan kelahiran Imam
Madzhab pertama yaitu Abu Hanifah rahimahullah, yang telah berhasil
memadukan antara dalil nash Quran dan sunnah sesuai dengan logika nalar
hukum. Kemudian diikuti oleh Imam Malik, Imam As-Syafi’i dan Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.
Mereka semua adalah guru dari ummat Islam, karena merekalah yang
telah berjasa melakukan isitnbath hukum dari Al- Quran dan Sunnah,
sehingga bisa menguraikan hukum-hukum Islam secara detail, rinci,
lengkap, bahkan meliputi semua aspek kehidupan.
Bahkan mereka telah meletakkan dasar- dasar istinbath hukum, yang
kemudian menjadi modal sekaligus model bagi seluruh ulama di dunia
untuk melakukannya. Nyaris boleh dibilang bahwa tidak ada ulama yang
mampu melakukan istinbath hukum yang berbeda, kecuali menggunakan salah
satu metode yang telah mereka rintis. Karena itulah keempat madzhab
mereka tetap bertahan sampai ribuan tahun, bahkan berhasil menjadi
sebuah disiplin ilmu yang abadi sepanjang zaman.
Kita sering mendengar pernyataan kalangan anti madzhab yang
mengatakan, “mengapa Anda mengikuti Imam asy-Syafi’i, kok tidak
mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam saja?”, atau “siapa
yang lebih alim, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atau Imam
asy-Syafi’i?” Tentu saja pertanyaan tersebut sangat tidak ilmiah, dan
menjadi bukti bahwa kalangan anti madzhab memang tidak memahami al-
Qur’an dan ilmu ushul fiqih. Ketika seseorang itu mengikuti Imam
asy-Syafi’i, hal itu bukan berarti dia meninggalkan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam karena bagaimanapun Imam asy-Syafi’i itu
bukan saingan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atau menggantikan
posisi beliau sebagai Nabi.
Para ulama yang mengikuti madzhab asy-Syafi’i seperti Imam
al-Bukhari, al-Hakim, Daraquthni, al-Baihaqi, an-Nawawi, Ibn Hajar dan
lain-lain, berkeyakinan bahwa Imam asy-Syafi’I lebih mengerti dari pada
mereka terhadap makna-makna al-Qur’an dan hadits Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam secara menyeluruh. Ketika mereka mengikuti
asy-Syafi’i, bukan berarti meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Akan
tetapi mengikuti al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman orang
yang lebih paham dari mereka, yaitu Imam asy-Syafi’i. Hal tersebut
dapat dianalogikan dengan ketika para ulama mengikuti perintah
al-Qur’an tentang hukum potong tangan bagi para pencuri.
Dalam al-Qur’an tidak dijelaskan, sampai di mana batasan tangan
pencuri yang harus dipotong? Apakah sampai lengan, sikut atau bahu?
Ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan sampai
pergelangan tangan. Hal ini ketika kita menerapkan hukum potong tangan
dari bagian pergelangan tangan, bukan berarti kita mengikuti Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam dengan meninggalkan al-Qur’an. Akan tetapi
kita mengikuti al-Qur’an sesuai dengan penjelasan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam yang memang diberi tugas oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala sebagai mubayyin, penjelas isi- isi al-Qur’an.
Al-Qur’an al-Karim sendiri mengajarkan kita untuk taqlid dan
bermadzhab kepada ulama seperti dalam ayat “Bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” Dalam ayat itu,
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan orang yang tidak tahu agar
bertanya kepada para ulama. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
memerintahnya agar membolak-balik terjemahan al-Qur’an atau kitab-kitab
hadits, sebagaimana yang dilakukan oleh para anti madzhab. Lalu
bagaimana dengan kita yang tidak bertemu dengan para imam itu? Para
imam itu mempunyai murid, muridnya mempunyai murid, terus begitu. Nah,
pelajarilah ilmu mereka melalui ulama yang sanad ilmunya bersambung
kepada para Imam itu. Ada pun para Imam, tentunya sanad ilmu mereka
bersambung hingga ke Rasul shallallahu alaihi wasallam.
Alhamdulillah, di Indonesia ini banyak ulama-ulama bermadzhab
Syafi’i yang sanad ilmu mereka bersambung hingga ke Rasul. Walau pun
sanad ilmu mereka tidak mereka sebutkan, kita tahu bahwa mereka telah
berguru kepada ulama- ulama Syafi’iyah yang telah berguru kepada
ulama-ulama Syafi’iyah juga dan bersambung hingga ke Imam Syafi’i.
*** akhir kutipan *****
Orang-orang yang merasa tidak butuh bermazhab mengatakan bahwa mereka mengikuti pemahaman Salafush Sholeh
Salah satu fitnah akhir zaman adalah orang-orang pada masa kini
(khalaf) yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun
pada kenyataannya tentu mereka tidak bertemu dengan Salafush Sholeh
untuk mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh
Pada kenyataannya ajakan untuk mengikuti pemahaman Salafush Sholeh
adalah ajakan untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan
ulama salaf (terdahulu) bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara
otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri dan pemahamannya
selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu
dengan makna dzahir dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah
(terminologi) saja.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa
menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar,
maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya
mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama
dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah
pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka
menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai
orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi
yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang
mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para
ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam
riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan
semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia
tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi
kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa
bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan
pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak
boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada
imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka
daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi
darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena
mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun)
ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya.
Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab
yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah
mereka (para Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan
Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum
berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip
asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu
Hanifah dan selain dari mereka berdua.”
Perlu kita ingat bahwa nama para Sahabat tercantum pada hadits pada
umumnya sebagai perawi bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil
ijtihad atau istinbat mereka melainkan para Sahabat sekedar mengulangi
kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa
orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz
riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia
menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu
agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham
darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak
memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah,
ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan
imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi (para Sahabat)
yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang
dihafal dan disampaikannya.
Jadi pendapat atau pemahaman para Sahabat tidak bisa didapatkan dari membaca hadits.
Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa ketika orang membaca hadits
maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri bukan pendapat atau
permahaman para Sahabat
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman para Sahabat berijtihad
dengan pendapatnya terhadap hadits yang mereka baca. Apa yang mereka
katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad
dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa
yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka
ketahui dan sampaikan adalah pemahaman para Sahabat.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar
dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam
Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka
atas namakan kepada para Sahabat. Jika hasil ijtihad mereka salah,
inilah yang namanya fitnah terhadap para Sahabat.
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm mengatakan
***** awal kutipan ****
Sementara kita memperbincangkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah
sistem, sebenarnya justru keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya
malah di masa salaf, alias di masa lalu.
Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalah seorang Abu
Hanifah bukan orang salaf? Al-Imam Malik lahir tahun 93 hijriyah,
Al-Imam Asy-Syafi’i lahir tahun 150 hijriyah dan Al-Imam Ahmad bin
Hanbal lahir tahun 164 hijriyah. Apakah mereka bukan orang salaf?
Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf,
barangkali dia perlu belajar sejarah Islam terlebih dahulu. Sebab
mazhab yang dibuangnya itu ternyata lahirnya di masa salaf. Justru
keempat mazhab fiqih itulah the real salaf.
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat
angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka
hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan
lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup
sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin
termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau
yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi
istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah
menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi
tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file
word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya
banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa,
bukan manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang
mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu
kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka
pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan
mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah
baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum
dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak
mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan
adanya nash yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua
dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama
shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka
semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya
menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi
menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits
itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena
fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih.
Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias
keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam
mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar
dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar
dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar
ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath
hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang
semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Sebagaimana tulisan ust Ahmad Zarkasih yang kami arsip pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/06/matang-sebelum-waktunya/
bahwa orang-orang yang salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi)
dengan akal pikiran sendiri dapat menjadi liberal atau bahkan atheis.
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Memang wajar, bahkan sangat wajar sekali jika ada seseorang
mempertanyakan adanya perbedaan pandangan. Tapi tidak wajar kalau
mereka membawa-bawa label “Kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah”
kemudian meyalahkan para Imam Mujtahid, seakan-akan para Imam Mujtahid
tidak mengerti isi ayat dan kandungan hadits.
Justru para Imam Mujtahid orang yang paling mengerti madlul ayat
dan hadits dibanding kita-kita yang masih berlabel “Muqollid”, bahkan
dengan strata taqlid paling rendah.
Mereka bilang “Saya tidak mau terpaku dengan ajaran orang tua dan
guru saya. Saya mau mencari ajaran yang benar”. Hal ini yang membuat
kita semakin khawatir. Dengan umur yang masih seperti itu, mereka
begitu yakin untuk tidak ber-taqlid (ikuti) kepada yang memang
seharusnya ia taqlid.
Mereka menolak untuk menerima sepenuhnya apa yang ia dapatkan dari
rumah, juga dari gurunya tapi mereka tidak punya pegangan untuk bisa
berdiri dan menjadi sandaran sendiri.
Akhirnya, yang dilakukan kembali mencari di jalanan, seperti dengan
buka laptop, searching google dan akhirnya bertemu dengan ratusan
bahkan ribuan hal yang sejatinya mereka belum siap menerimanya semua.
Sampai saat ini kita masih tidak memandang google sebagai sumber
pencarian ilmu yang valid dan aman. Mendatangi guru dan bermuwajahah
dengan beliau itu yang diajarkan syariah dan jalan yang paling aman.
Hal yang kita khawatirkan, nantinya mereka besar menjadi muslim
yang membenci para imam mazhab dengan seluruh ijtihadnya. Dan kelompok
pemuda semacam ini sudah kita temui banyak disekitar kita sekarang.
Dengan dalih “Kembali kapada al-quran dan sunnah”, mereka dengan
pongah berani mecemooh para imam, padahal apa yang dipermasalahkan itu
memang benar-benar masalah yang sama sekali tidak berdampak negatif
kalau kita berbeda didalamnya.
Atau lebih parah lagi, ia menjadi orang yang anti dengan syariahnya
sendiri. Karena sejak kecil sudah terlalu matang dengan banyak
keraguan di sana sini.
Seperti orang yang belum matang dengan agamanya sendiri tapi
kemudian sudah belajar perbandingan agama. Ujung-ujungnya mereka jadi
atheism, karena banyak kerancuan yang dia temui.
Sama juga orang yang belum matang fiqih satu mazhab, kemudian
mereka tiba-tiba belajar perbandingan mazhab. Satu mazhab belum beres,
kemudian sudah dibanding-bandingkan. Ujung-ujungnya jadi Liberal,
yang menganggap bahwa ijtihad itu terbuka untuk siapa saja dan dimana
saja. Jadi sebebas-bebasnya lah mereka menfasirkan ini itu.
***** akhir kutipan *****
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/21/terhasut-mengikuti-shahafi/
bahwa mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang
pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal
sekarang dengan Zionis Yahudi
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman
adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]:
82)
Mereka terhasut untuk membuang-buang waktu atau menyibukkan diri
mengulang kembali apa yang telah dikerjakan dan dihasikan oleh Imam
Mazhab yang empat namun mereka tidak berkompetensi sebagai mujtahid
mutlak.
Protokol Zionis yang ketujuhbelas
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para
ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka
menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius
menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang
dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama
telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka
agama-agama itu akan bertumbangan…..
Salah satu upaya mengdiskreditkan Imam Mazhab yang empat adalah
menyalahgunakan perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat yang
jsutru untuk meninggalkan apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh
Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang telah disampaikan dalam
tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/13/tidak-bermazhab/
Mereka yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak
(shahafi) meninggalkan Imam Mazhab yang empat dengan alasan seperti
“kita harus mengikuti hadits shahih bukan mengikuti ulama.
Mereka mengingatkan bahwa Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza
shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka
hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau.
Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang
menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i
maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu
tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih
adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits
yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah
mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan
Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid
madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui
hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini
hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku
murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang
yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i
sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang
ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau
sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak
menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii
dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan
keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan
ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” ["Majmu' Syarh Al-Muhadzab"
1/105]
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i
sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah
mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka
silahkan mengamalkan hal itu“
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Mereka pada umumnya juga salah memahami pendapat seperti Imam
Syaukani yang berkata: “Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid
(mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah
bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya
bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya
kepada sumber asli Islam tidak dikatagorikan sebagai Muqallid
(pengikut)”.
Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid mutlak
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Berikut kutipannya
****** awal kutipan ******
Definisi madzhab adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i
dan para pengikutnya terhadap hukum dalam berbagai masalah,
sebagaimana disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau terhadap Al
Minhaj. (lihat, Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, 1/7)
Dengan definisi di atas, otomatis madzhab As Syafi’i tidak hanya
mencakup pendapat Imam As Syafi’i saja, namun, juga pendapat para
pengikutnya. Nah, siapa para pengikut yang berhak memberi kontribusi
kepada madzhab? Pendapatnya diperhitungkan sebagai pendapat madzhab?
Tentu, itu bisa terjawab dengan pemaparan tingkatan para mufti yang
dianggap mu’tabar dalam madzhab.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab
(1/71), mengenai tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i. Merujuk
kepada pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membagi mufti dalam
madzhab menjadi beberapa kelompok:
1. Mufti Mustaqil
Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi
dalam madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutkannya sebagai mujtahid
mutlaq. Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan mujtahid inilah
perintis madzhab. Tentu dalam Madzhab As Syafi’i, mufti mustaqil
adalah Imam As Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat
beberapa ulama ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As
Syafi’i. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)
Keistimewaan mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan
mufti di bawahnya adalah kemampuannya menciptakan metode yang dianut
madzhabnya.
2. Mujtahid Madzhab
Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab
(pendapat) atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena
mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Contoh ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al
Muzani dan Al Buwaithi, sebagaimana disebutkan Nawawi Al Bantani dan
Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al
Mustarsyidin, hal. 7)
Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa Abu Ishaq As
Syairazi yang masa hidupnya jauh dari masa Imam As Syafi’i mengaku
sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab,
1/72)
Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada
derajat ini, sebagaimana disebutkan Syeikh Ba’alawi. (lihat, Bughyah
Al Mustarsyidin, hal. 7)
Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As
Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para
imam lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’
fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level
ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapat bahwa pelarangan
taklid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh
Al Muhadzdzab, 1/72).
Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang
berhak mengoreksi pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits
shahih yang bertantangan dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka?
Karena bisa jadi imam sengaja meninggalkan hadits walau ia shahih
dikarenakan manshukh atau ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui
kecuali yang bersangkutan telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan
para pengikutnya, dan hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama
sekaliber Imam An Nawawi sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al
Muhadzdzab, 1/99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al
Hadits fa Huwa Madzhabi)
Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisihi pendapat
imamnya sendiri, dan hal ini tidaklah jadi persoalan, karena sudah
sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai kaidah imam. Tak
heran jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan pendapat
Imam As Syafi’i seperti dalam masalah masa nifas, Imam As Syafi’i
berpendapat bahwa maksimal masa nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40
hari. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)
3. Ashab Al Wujuh
Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah
syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih
memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam
dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam,
sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka
mencukupkan diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al
Muhadzdzab, 1/73)
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para ulama As Syafi’iyah yang
sampai pada derajat ini adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang
mengkiyaskan masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat
imam. Sehingga, orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak
bertaklid kepada mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al
Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Contoh dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al
Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti
Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana disebutkan Syeikh Muhammad bin
Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53).
4. Mujtahid Fatwa
Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat
ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta
melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al
Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas
tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara
imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para
ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan
ini berperan untuk mentarjih.
Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutkan bahwa yang berada
dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal
sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal.
7)
Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh
Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan
Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin
mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada
buku-buku tersebut.
5. Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang
menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit.
Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka
fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang
madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para
mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk
kelompok mufti Muqallid, walau sebagian berpendapat bahwa mereka juga
melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal.
7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal 7)
Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh
mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka memandang bahwa masalahnya
sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia mengkiyaskannya. Namun,
menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al
Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa
melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai
orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisihi ijma.
(lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 9)
Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak
berinteraksi dengan karya-karya para mujtahid fatwa, yang telah
menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.
Penutup
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para mufti selain mufti mustaqil,
yang telah disebutkan di atas termasuk mufti muntasib, dalam artian
tetap menisbatkan diri dalam madzhab. Dan semuanya harus menguasai apa
yang dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa sedangkan
belum memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada
hal yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta
mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar
Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu! Namun ironisnya banyak
anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban
menyesat-nyesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk
mentarjih pendapat sesuai berdasarkan dalil yang ia pahami
seakan-akan ia setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan
menggugurkan pendapat mujtahid mustaqil dengan berargumen, idza shahah
al hadits fahuwa madzhabi, seakan-akan ia satu level dengan Imam Al
Muzani! Padahal yang bersangkutan belum menghatamkan dan menguasai
kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun dalam madzhab.
Mudah-mudahan kita terlindung dari hal-hal yang demikian. Dan tetap
bersabar untuk terus mencari ilmu, hingga sampai kepada kita
keputusan Allah, sampai dimana ilmu yang mampu kita serap dan kita
amalkan.
******* akhir kutipan *******
Allah ta’ala berfirman yang artinya
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan
mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya
telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf
[7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat.
penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum
muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat
Mereka yang merasa tidak butuh bermazhab karena merasa mengikuti
pemahaman Salafush Sholeh sebagaimana Al Albani yang berkata “Aku
membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil
mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al Buthi berdialog dengan Al Albani untuk mengetahui secara
langsung maksud perkataan Al Albani tersebut sebagaimana informasi
dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/06/bidah-yang-gawat/ atau pada http://www.piss-ktb.com/2013/09/2799-mengkritisi-madzhab-panggilan-hati.html?m=0 atau dalam kitab Syaikh al Buthi pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/01/al-laa-mazhabiyah-akhtharu-bidatin-tuhaddidu-as-syariah-al-islamiyah.pdf
Syaikh al Buthi berkata bahwa “secara logika, seseorang yang mampu
menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer
al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim (pandai) dari mereka”.
Imam Ahmad bin Hanbal yang memiliki kompetensi dalam berijtihad dan
beristinbat atau berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, tentu
beliau lebih berhak “menghakimi” Imam Mazhab sebelum beliau. Namun
kenyataannya beliau tetap secara independen berijtihad dan beristinbat
atas sumber atau bahan yang dimilikinya dengan ilmu yang dikuasainya.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan
terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada
disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi
zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat
disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan
sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat
dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari
pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang
mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud
dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di
antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat
menyesatkan orang banyak.
Al Albani menyampaikan bahwa,
“Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang
yang taqlid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang
mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih
dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah,
antara taqlid dan ijtihad.”
Berikut kutipan dialog selanjutnya
****** awal kutipan ******
Ulama Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid
itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan
demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan
memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang
muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu
bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda
dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi
satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku
tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Menghadapi pertanyaan tersebut, ulama al-Albani terdiam.
***** akhir kutipan *****
Jadi bagi Al Albani , kaum muslim dilarang menjadi muqallid (orang
yang taqlid) dan bagi yang tidak berkompetensi sebagai mujtahid
seharusnyalah menjadi muttabi’ (orang yang mengikuti) yakni
membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat
pada al-Qur’an dan As Sunnah.
Kalau begitu bagaimana nasib kaum muslim yang tidak mempunyai
kemampuan untuk membeli kitab-kitab hadits ataupun tidak mempunyai
waktu dan kompetensi untuk membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan
memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an dan As Sunnah ? Apakah mereka
akan masuk neraka karena mengerjakan perkara terlarang yakni menjadi
muqallid (orang yang taqlid)?
KH. Muhammad Nuh Addawami menyampaikan,
***** awal kutipan *****
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti
mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap
orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan
menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak
memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23
pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka
dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak
disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama
muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui
dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin
adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang
lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya
mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa
dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang
penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak
termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin
adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Jadi muttabi bukanlah sebagaimana yang dikatakan oleh Al Albani
sebagai “derajat tengah, antara taqlid dan ijtihad” namun muttabi
adalah orang yang mengikuti pendapat orang lain karena dia ahli
istidlal.
Sedangkan orang yang menerima atau mengikuti pendapat orang lain
walaupun mengetahui dalilnya namun bukan ahli istidal adalah sama-sama
muqallid, sama-sama taqlid dan menerima atau mengikuti pendapat orang
tanpa mengetahui dalilnya.
Kompetensi sebagai ahli istidlal adalah sebagaimana yang disampaikan KH. Muhammad Nuh Addawami yakni
*****awal kutipan *****
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena
al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan
balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung
hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan
hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa
arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak,
bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran
dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran
dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi
hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada
lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal,
ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad,
ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh
dan mansukh dan lain sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab
an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad,
baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan
yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali
hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah
ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain
kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan
kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para
mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada
salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Pada masa sekarang, salah satu cara menjaga sanad ilmu (sanad guru)
agar tetap tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam adalah dengan bertalaqqi (mengaji) kepada para ulama yang
sholeh yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang
empat sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/04/07/menjaga-sanad-ilmu/
Kalau ada waktu dan dana bertalaqqilah (mengajilah) kepada para
ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam
Mazhab yang empat di propinsi Hadramaut (Yaman), tempat menimba ilmu
agama yang disarankan dan didoakan oleh Rasulullah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa jika
telah bermunculan fitnah atau perselisihan atau bahkan pembunuhan
terhadap umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat maka
hijrahlah ke Yaman, bumi para Wali Allah atau ikutilah atau merujuklah
kepada pendapat Ahlul Hadramaut, Yaman.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman,
dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana
banyak terdapat keberkahan’
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu
alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah
ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke
negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’
Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Pergilah kalian ke Yaman jika
terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya
mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala
yang banyak’
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa
ahlul Yaman adalah orang-orang yang mudah menerima kebenaran, mudah
terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dann banyak dikaruniakan hikmah
(pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil
Albab
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Telah mengabarkan kepada
kami Syu’aib Telah menceritakan kepada kami Abu Zinad dari Al A’raj
dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam beliau bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah
orang-orang yang berperasaan dan hatinya paling lembut, kefaqihan dari
Yaman, hikmah ada pada orang Yaman.” (HR Bukhari 4039)
Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan
al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub
-yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami bapakku
dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata;
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang
penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada
pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Kita dapat telusuri apa yang telah disampaikan oleh ahlul Yaman
melalui apa yang disampaikan oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat
dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahman Al Attos dan yang
setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al
Imam Syihabuddin, kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin
Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang setingkat
mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih Almuqoddam
Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthoriqoh dan orang orang yang
setingkat dengannya, sampai ke Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin
Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir
bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra
Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin
Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Sayyidina Husain ra sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman beliau menganut
madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah
(i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam
Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang
ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang muktabaroh dan bermazhab
dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah
Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi
kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta
kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor
dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India,
kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan
wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah
dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan ,
tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke
daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam
berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang
berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas
Kita dapat pula menemukan orang-orang yang meninggalkan para ulama
yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah karena
menganggapnya sebagai kaum syiah sebagaimana contoh tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/07/ke-alam-barzakh/
Padahal para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan
cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapatkan pengajaran
agama dari dua jalur yakni
1. Melalui nasab (silsilah / keturunan). Pengajaran agama baik
disampaikan melalui lisan maupun praktek yang diterima dari orang tua
mereka secara turun temurun tersambung kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam
2. Melalui sanad ilmu ( sanad guru). Pengajaran agama dengan
bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam
Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah
dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh
yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab
yang empat yang mengikuti Salafush Sholeh dengan cara bertemu langsung
bukan melalui perantaraan mutholaah (menelaah kitab).
Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan
cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran
sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Dari http://www.facebook.com/photo.php?fbid=364436613697536 ada sebuah pernyataan “mengapa firqah Wahabi hampir tidak pernah menukil pendpat dari Sayyidina Ali ?”
Oleh karena firqah Wahabi mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad
bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah maka kita
telusuri apa pendapat Ibnu Taimiyyah terhadap Imam Sayyidina Ali
karamallahu wajhu, contohnya dari situs http://ustadchandra.wordpress.com/2010/02/13/sosok-dan-pemikiran-ibn-taimiyah/
Dari situs tersebut maka kemungkinannya Ibnu Taimiyyah tidak menukil
atau berfatwa berdalilkan perkataan atau mengambil hadits yang
dirawyatkan oleh Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu adalah karena
Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya Sayyidina Ali tidak sah, sebab
beliau masuk Islam sebelum baligh. Imam Ali ra. menurutnya mempunyai 17
kesalahan. Dan beliau berperang karena cinta kedudukan.
Sedangkan Sayyidina Ali karramallahu wajhu sebagaimana sabda
Rasulullah , “Aku adalah kota ilmu, manakala Ali pula pintunya. maka
barangsiapa yang inginkan ilmu maka hendaklah datang melalui pintunya
(Ali).”
Bahkan Rasulullah bersabda “Wahai Ali sungguh berdusta orang yang mengaku mencintaiku namun membencimu”
Orang-orang yang membenci ahlul bait dan keturunan cucu Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam disebut dengan An-Nawaashib mufradnya
naashib atau biasa disebut dengan nashibi
Imam at Tirmidzi dan Imam ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits
dari Ibnu Abbas ra., ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda, “Cintailah Allah agar kalian memperoleh sebagian
nikmat-Nya, cintailah aku agar kalian memperoleh cinta Allah, dan
cintailah keluargaku (ahlul baitku) agar kalian memperoleh cintaku.”
Imam Syafi’i ~rahimahullah bersyair, “Wahai Ahlul-Bait Rasulallah,
mencintai kalian adalah kewajiban dari Allah diturunkan dalam al-Quran
cukuplah bukti betapa tinggi martabat kalian tiada sholat tanpa
shalawat bagi kalian.”
Jabir ibnu Abdillah berkisah: “Aku melihat Rasulullah dalam haji
Wada` pada hari Arafah. Beliau menyampaikan khutbah dalam keadaan
menunggangi untanya yang bernama Al-Qashwa. Aku mendengar beliau
bersabda: “Wahai sekalian manusia! Sungguh aku telah meninggalkan pada
kalian dua perkara yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak
akan sesat yaitu kitabullah dan ‘itrati ahlul baitku.” (Hadits
diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3786, kitab
Al-Manaqib ‘an Rasulillah , bab Manaqib Ahli Baitin Nabi shallallahu
alaihi wa sallam)
Abu Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam meriwayatkan, “Sungguh aku
meninggalkan pada kalian perkara yang bila kalian berpegang teguh
dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu dari
perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu
kitabullah tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi. Dan (perkara
lainnya adalah) ‘itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak akan
berpisah hingga keduanya mendatangiku di haudl. Maka lihatlah dan
perhatikanlah bagaimana kalian menjaga dan memperhatikan keduanya
sepeninggalku.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 3/14,17 dan At-Tirmidzi
dalam Sunan-nya no. 3788)
Cara untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang
sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran dari Allah
ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya
Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang
ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara
perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir
kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi
bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya
disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada”
(yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan
perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang
mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan
berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang
yang berkata dengan perkataan tersebut)“.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah
bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau
dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).”
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47
no:32)
Tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad guru (sanad ilmu)
adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisihi
pendapat gurunya dan guru-gurunya terdahulu hingga tersambung kepada
Rasulullah serta berakhlak baik
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa
“maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan
sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu
mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu
juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad
daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu
meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian,
keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh,
makna dan pengamalan“
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu
(yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan
(riwayat) pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan
perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan
(hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa
sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir
QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam
bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir
Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Jadi fitnah tanduk syaitan adalah fitnah dari orang-orang yang
menjadikan gurunya syaitan karena memahami Al Qur’an dan Hadits
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi)
dengan akal pikirannya sendiri sebagimana yang telah disampaikan dalam
tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/07/fitnah-tanduk-syaitan/
Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu
secara turun temurun yang tersambung kepada lisannya Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya
“Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian
dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang
berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat
duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan
satu ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh yang
disampaikan secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina
Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).
Dalam memahami kalimat “pewaris para Nabi” kita pahami dahulu arti kata mewarisi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia atau contoh penjelasan pada http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/185 pengertian mewarisi adalah: 1. memperoleh warisan atau 2. memperoleh sesuatu yang ditinggalkan
Jadi ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang
sholeh sebelumnya secara turun-temurun tersambung kepada lisannya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk
tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh
dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam
proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman
baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu,
beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk
menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu
beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru
diwahyukan.
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya
karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk
menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini,
walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap
terjaga orisinalitasnya.
Kaitan antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari
kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm),
tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan.
Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan
periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan
hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan
“membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri
qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan,
atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’.
Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.
Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat
Wassalam
Komentar