Oleh Aryos Nivada
JELANG akhir kepemimpinannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), masih menyisakan sejumlah janji yang belum ditunaikan bagi Aceh,
terutama dalam kaitannya dengan implementasi MoU Helsinki. Mengingat
waktunya yang kurang dari dua bulan lagi, banyak pihak merasa khawatir
dan pesimis bahwa “janji politik” yang masih tersisa --berupa sejumlah
produk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Peraturan Presiden
(Perpres) turunan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)--
tidak akan terwujud hingga masa jabatan SBY berakhir pada 20 Oktober
mendatang.
Kita mengharapkan agar janji penuntasan berbagai
produk regulasi turunan UUPA itu dapat terwujud sebelum masa
pemerintahan SBY berakhir. Dalam pribahasa Aceh sikap Pemerintah Pusat
mencerminkan, “Lagee Ureueng Pelheueh Batoek Bak Rinyeuen”. Karena sikap
itu membuat janji penuntasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan
Peraturan Presiden (Perpres) tidak terselesaikan. Sehingga menuai reaksi
macam ragam merespons berakhir masa jabatan SBY sebagai presiden. Mulai
berdiskusi, menulis, hingga melakukan upaya lobi bertemu dengan
dirinya. Untuk menyelesaikan RPP dan Perpres harus dikaji dengan cara
pandang pendekatan politik dan pendekatakan manajemen. Tinggal upaya
Pemerintah Provinsi Aceh menyusun strategi ke dalam dua pendekatan
tersebut.
Jika mempelajari turunan dari UUPA yaitu RPP dan Perpres
menerapkan semangat hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun
dengan cara memberikan kewenangan yang besar kepada daerah (highly
decentralized) atau dikenal dengan nama confederal system. Ataukah
hubungan pusat dan daerah berdasarkan sharing antara pusat dan daerah.
Sistem, ini disebut sistem federal (federal System). Jika merujuk kepada
teori itu, apakah lex specialist lebih mengarah kepada highly
decentralized.
Jika kita telusuri rekam jejak sudah 9 tahun
perdamaian Aceh dan berakhir masa jabatan SBY baru direalisasikan empat
PP terdiri dari PP No.20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di
Aceh; PP No.58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan
dan Pemberhentian Sekda Aceh dan Sekda Kabupaten/Kota; dan PP No.83
Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah kepada Dewan Kawasan
Sabang (DKS), dan PP No.105 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Keuangan
pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Sabang.
Sedangkan Perpres baru dua yang disahkan, yaitu Perpres
No.75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan
Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan
Undang-undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung
dengan Pemerintahan Aceh. Dan, Perpres No.11 Tahun 2010 tentang Kerja
Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri. Sisanya 8
RPP dan 3 Ranperpres belum disahkan oleh pemerintah pusat.
Terlalu mengada-ada
Wacana seakan-akan dilakukan pembiaran oleh pemerintah pusat terlalu mengada-ada, ternyata penyebab utama bukanlah berasal dari pemerintah pusat saja, tetapi dari kedua belah pihak termasuk Pemerintah Aceh sendiri. Hal ini terungkap dalam satu diskusi publik yang digelar Aceh Institute pada 18 Agustus 2014 lalu, di Banda Aceh, dengan tema: “Pemerintah Zikir dan 9 Tahun MoU Helsinki; Quo Vadis Damai Aceh?”
Wacana seakan-akan dilakukan pembiaran oleh pemerintah pusat terlalu mengada-ada, ternyata penyebab utama bukanlah berasal dari pemerintah pusat saja, tetapi dari kedua belah pihak termasuk Pemerintah Aceh sendiri. Hal ini terungkap dalam satu diskusi publik yang digelar Aceh Institute pada 18 Agustus 2014 lalu, di Banda Aceh, dengan tema: “Pemerintah Zikir dan 9 Tahun MoU Helsinki; Quo Vadis Damai Aceh?”
Mulai
dari tidak dilibatkan mantan juru runding GAM dan RI dalam advokasi
turunan dari UUPA dan realisasi MoU Helsinki, birokrasi institusi
pemerintah pusat yang menghambat, belum seirama pemahaman akan MoU
Helsinki dan UUPA antarperangkat pegawai negeri sipil Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Aceh. Begitulah hasil diskusi yang hadir dari berbagai
pelaku sejarah, tokoh penting, lembaga swadaya masyarakat (LSM),
wartawan, mahasiswa, pihak asing, kementerian sebagai unsur pemerintah
pusat, dan lain-lain.
Hasil diskusi belum sepenuhnya terungkap ke
publik terkait faktor penghambat pengesahan RPP dan Perpres. Setelah
dilakukan serangkaian pencarian informasi dari berbagai narasumber,
ditemukan kendala utama yang tergolong urgent. Dari awal proses tidak
dibangun mekanisme sistematis menyelesaikan RPP dan Perpres tersebut.
Penjelasannya, dilarang pihak pemerintah pusat mengirimkan perwakilannya
yang bukan pengambil kebijakan, keselarasan menafsirkan UUPA
berdasarkan ketentuan hukum tata negara, dan lain-lain.
Publik
menilai tim bentukan pemerintah Aceh terlambat merespons, di mana
seharusnya dari permulaan setelah disahkan dilakukan komunikasi. Ini
malahan terjebak dalam polarisasi kekuasaan dan ekonomi bagi kepentingan
kelompok atau pihak tertentu. Sehingga membuat tidak terfokus, bahkan
rugi secara waktu yang terbuang dalam memperjuangkan hak orang Aceh
melalui turunan UUPA yaitu RPP dan Perpres.
Besar kemungkinan
pertimbangan pemerintah pusat tidak memberikan sepenuhnya RPP dan
Perpres karena kurang kesiapan dari Pemerintah Aceh secara
administratif, fasilitas, anggaran, dan lain-lain. Bilamana dipersiapkan
blue print/strategi planning membangun Aceh, ketika direalisasikan RPP
dan Perpres, maka itu menjadi bargaining kepada pemerintah pusat. Selain
itu dukungan komponen masyarakat sipil harus menyatu dan terkonsolidasi
memperjuangkan RPP dan Perpres.
Faktanya dinilai publik tim
Pemerintah Aceh terkesan eksklusif melakukan advokasi atas RPP dan
Perpres yang belum dibuat dan disahkan pemerintah pusat. Jika mereka
dilibatkan maka Pemerintah Aceh memiliki energi lebih menyuarakan
kepentingan bersama, yaitu menyejahterahkan masyarakat Aceh, membawa
perubahan dari segi pembangunan, dan lain-lain. Hal penting lainnya
mengoptimalkan keberadaan Forum Bersama (Forbes) berisikan lintas tokoh
Aceh yang berada di pusat (Jakarta) untuk bersama memperjuangkan
kepentingan RPP dan Perpres. Ke depannya peran Forbes sangat penting
setelah terpilihnya presiden baru periode 2014-2019.
Satu kelemahan
Ada pandangan mengatakan membuat aturan atau regulasi harus mengikuti MoU Helsinki. Jika dijadikan landasan kalangan praktisi hukum mengatakan, ini bentuk penyimpangan produk regulasi ketika dimulai dari kesalahan. Ini satu kelemahan yang harus diakui oleh pemerintah pusat yang tidak mengkaji (menelaah) aspek regulasinya ketika isi butir-butir MoU Helsinki dibuat, lalu disikronisasikan dengan hukum tata negara yang berlaku di Indonesia. Karena berharap konflik selesai dan tercipta perdamaian terlebih dulu, urusan hukum dipikirkan nanti. Begitulah kira-kira cara berpikir Pemerintah Pusat ketika dihadapi pada kondisi berkonflik.
Ada pandangan mengatakan membuat aturan atau regulasi harus mengikuti MoU Helsinki. Jika dijadikan landasan kalangan praktisi hukum mengatakan, ini bentuk penyimpangan produk regulasi ketika dimulai dari kesalahan. Ini satu kelemahan yang harus diakui oleh pemerintah pusat yang tidak mengkaji (menelaah) aspek regulasinya ketika isi butir-butir MoU Helsinki dibuat, lalu disikronisasikan dengan hukum tata negara yang berlaku di Indonesia. Karena berharap konflik selesai dan tercipta perdamaian terlebih dulu, urusan hukum dipikirkan nanti. Begitulah kira-kira cara berpikir Pemerintah Pusat ketika dihadapi pada kondisi berkonflik.
Saya pernah menulis “Managih PP dan Perpres UUPA”
(Serambi, 19/8/2013), perlu dicatat jika keseluruhan PP dan Perpres
diberikan kepada Provinsi Aceh, diperlukan komitmen serius menjalankan
keseluruhan kewenangan secara transparansi dan akuntabel. Intinya harus
jelas mekanisme implementasi dari hulu ke hilir. Jangan sampai pemberian
keseluruhan PP dan Perpres menimbulkan masalah baru di Aceh antara
lain: korupsi makin merajalela, kemiskinan makin meningkat dimana
hadirnya kesenjangan yang jauh antara si miskin dan si kaya, dan
kriminalitas meningkat secara signifikan.
Terpenting harus
dijadikan landasan penyelesaian dua hal kuncinya, pertama membangun
komunikasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Aceh
melalui keterlibatan pihak terkait dan publik. Kedua menghilangkan ego
di masing-masing pihak serta mengedepankan win-win solution dalam
penyelesaian RPP dan Perpres. Dengan demikian marwah keduanya
terselamatkan dalam menyelesaikan RPP dan Perpres.
* Aryos Nivada, Peneliti Aceh Institute. Email: aryos@acehinstitute.org
Lebih jelasnya Kunjungi : http://aceh.tribunnews.com/2014/09/04/menagih-janji-sby
Komentar