kitab “Al-Adzkar” karya Imam Nawawi, cetakan
pertama “Maktabah Tijariyah al-Kubra” tahun 1356 H / 1938 M halaman 7
sebagai berikut:
Artinya:
“Para ulama hadits dan fiqih serta
ulama lainnya berkata: Diperbolehkan bahkan disunnahkan mengamalkan
hadits dha’if dalam keutamaan beramal, baik berupa anjuran maupun
larangan selama hadits itu bukan hadits maudhu’”.Bahkan ada sebagian
ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma’ di kalangan ulama
tentang kebolehan mengamal kan Hadits
Dha’if jika berkaitan dengan fadha’ilul a’mal ini. Sedangkan dalam
masalah hukum, tafsir ayat Al-Qur’ an, serta akidah, maka apa yang
termaktub dalam hadits tersebut tidak dapat dijadikan pedoman.
Sebagaimana yang disitir oleh Sayyid ‘Alawi al-Maliki dalam kitabnya
Majmu’ Fatawi wa Rasa’il:
“Para ulama ahli Hadits dan lainnya
sepakat bahwa Hadits Dha’if dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
masalah fadha’il al-a’mal. Di antara ulama yang mengatakannya adalah
Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Mubarak, dan Sufyan, al-Anbari serta ulama
lainnya. (Bahkan) Ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah berkata:
Apabila kami meriwayatkan (Hadfts) menyangkut perkara halal ataupun yang
haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan
Hadits tentang fadha’il al-a’mal, maka kami melonggarkannya”. (Majmu’
Fatawi wa Rasa’il, 251) Akan tetapi, kebolehan ini harus
memenuhi tiga syarat.
Pertama, bukan hadits yang sangat dha’if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya.
Pertama, bukan hadits yang sangat dha’if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya.
Kedua, masih berada di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-kaidah yang universal. Dengan kata lain, hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan Hadits Dha’if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath atau berhati-hati dalam masalah agama.
Komentar