Politik BBM
Ini lebih cocok saya ajukan sebagai judul pembuka ketikan saya hari ini. Melalui berbagai perangkat yang bekerja secara sistemstis dan terlihat
sangat massif, berbagai upaya dilakukan oleh Jokowi-JK untuk membangun
opini bila negara dalam keadaan genting karena BBM tetap disubsidi.
Media dan pengamat pro Jokowi-JK atau tepatnya para pengusung
liberalisme, terus menekan melalui argumentasi yang tampak ilmiah tapi
faktanya menyesatkan sebab tak sejalan dengan sistem ekonomi Pancasila
yang mestinya kita anut. Tujuan mereka satu, agar pemerintahan SBY
mencabut subsidi dan mengikuti harga pasar internasional.
Tekanan-tekanan dilakukan untuk memaksa pemerintahan SBY menaikkan harga
BBM juga datang dari pasukan Jokowi-JK di media sosial, entah mereka
sadar atau tidak akan dampak yang bakal ditimbulkan oleh kenaikan harga
BBM atau sekadar berkoar karena dibayar, yang pasti orang-orang ini tak
pernah henti membangun opini bila Negara dalam kondisi genting akibat
subsidi. Sebelum “kutukan BBM” mengena ke pemerintahan Jokowi-JK yang
bila tak ada aral melintang akan dilantik pada 20 Oktober 2014 nanti,
persoalan subsidi secara terburu-buru ingin segera diselesaikan dengan
solusi instan : cabut subsidi, naikkan harga BBM sekarang juga!
Nahasnya, dua pekan yang digunakan oleh Jokowi-JK dan pasukan untuk
membangun opini guna menekan Presiden SBY, malah disudahi oleh Presiden
SBY melalui YouTube. Ya, hanya melalui Youtube dengan video berjudul
“Tidak Mau Bebani Rakyat, SBY Pertahankan Harga BBM”. Presiden SBY yang
tadinya hampir babak belur dihajar opini oleh Jokowi-JK dan pasukannya,
kini berbalik unggul. Dengan diksi yang disaring dalam pernyataan
melalui wawancara di saluran YouTube tersebut, Presiden SBY berhasil
mengungkit citranya sebagai pemimpin pro rakyat/tidak mau menyusahkan
rakyat. Presiden SBY diperkirakan bakal mendarat dengan mulus, dan citra
bagus tetap terjaga di akhir masa jabatannya.
Salah satu pernyataan menarik yang bisa kita simak adalah “Ketika Saya Naikan BBM tahun 2005, Saya Tidak Pernah Bilang Bu Mega Bebani Saya”. Pernyataan ini bermata ganda. Selain mengatrol citra Presiden SBY sebagai pemimpin tidak cengeng dengan tidak menyalahkan Presiden sebelumnya, juga secara langsung menikam citra Jokowi. Bila kita tafsirkan, kalimat tersebut bermakna bila Jokowi tipe pemimpin yang suka menyalahkan. Jokowi kalah telak!
Kalau saja Presiden SBY menaikkan harga BBM, tentu lain cerita, citra Jokowi-JK yang selamat sebab tidak harus menaikkan harga BBM di awal masa pemerintahannya nanti. Kini Presiden SBY unggul telak. Dan citra Jokowi-JK terancam anjlok. Melihat pernyataan Jokowi yang mengatakan “saya siap tidak populer”, nampaknya memang sejak awal, bisa kita terka jika esensi babak “politik BBM” ini telah bergeser dari kepentingan rakyat kepada kepentingan citra pemimpin. Bukan lagi bicara soal ruang fiskal, pengelolaan APBN dan kewajiban negara memberi subsidi pada rakyat. BBM bergeser jadi medan pertarungan pencitraan. Dan kalau bicara soal strategi pencitraan, Jokowi salah besar bila melawan SBY yang jauh berpengalaman.
Babak “politik BBM” membuka mata kita semua, memberi pelajaran berharga bagi rakyat. Bahwa sesungguhnya para pemimpin tidak sedang bekerja untuk kita, tapi nampaknya mereka sedang bekerja untuk citra yang telah didewa-dewakannya, dengan meminjam –atau tepatnya menjual- nama rakyat.
Terlepas dari sangat setujunya saya dengan ketegasan Presiden SBY untuk tidak mencabut subsidi BBM, saya kira yang harus kita kritisi adalah adanya ambiguitas atau ketidaktegasan dalam keputusan tersebut. Kita ingin setiap kebijakan pemerintah tendensinya hanya untuk rakyat, kepentingannya hanya untuk melayani, bukan untuk kepentingan pencitraan atau mendongkrak popularitas.
Jokowi dan partai pengusungnya, yang beberapa bulan lalu masih dianggap pro rakyat, pun sama saja. Juga ternyata telah terjebak mendewakan citra. Kita masih ingat dengan sangat segar, PDIP dulu menolak mentah-mentah kenaikan BBM. Selain walk out dari sidang paripurna di DPR, PDIP bahkan mengerakkan massa di berbagai daerah untuk melakukan aksi penolakan kenaikan harga BBM. Salah satu argumentasinya, solusi kompensasi yang ditawarkan oleh pemerintah dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) atau bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) disebut sebagai bentuk politisasi kaum miskin.
Tapi toh, faktanya kini Jokowi, Presiden yang diusung oleh PDIP juga ternyata menawarkan bentuk politisasi masyarakat miskin dengan rencana menerapkan sistem kartu untuk kompensasi jika nantinya harga BBM dinaikkan. Kartu, selama ini menjadi jurus andalan Jokowi yang katanya untuk mengatasi problem di masyarakat bawah. Walaupun bila menilik pada implementasi “jurus kartu” Jokowi di Jakarta ketika menjadi gubernur, ternyata toh banyak bikin masalah baru. Impian menjadikan “jurus kartu” sebagai solusi, jauh panggang dari api.
Posisi Koalisi Merah Putih
Sebagai kekuatan politik yang sangat besar, lalu dimana posisi Koalisi Merah Putih terkait dengan pro kontra subsidi BBM ini? Seperti kita ketahui, pemerintah yang masih absah hingga 20 Oktober nanti adalah pemerintahan Presiden SBY yang berasal dari Partai Demokrat, salah satu komponen Koalisi Merah Putih. Partai Demokrat sendiri telah bersikap melalui pernyataan Ketua Hariannya Syarifuddin Hasan. Pelaksana tugas harian Ketua Demokrat ini mendukung keputusan Presiden SBY untuk tidak menaikkan harga BBM.
Pun dengan partai-partai lain yang tergabung di dalam Koalisi Merah Putih, semua kompak menolak wacana kenaikan harga BBM yang terus dihembuskan oleh kubu Jokowi-JK. Artinya, ketika nanti Jokowi-JK dilantik dan mengambil alih pemerintahan untuk periode 2014-2019, rakyat tentu saja menagih komitmen Koalisi Merah Putih untuk tidak mendukung kenaikan harga BBM. Koalisi besar ini kita harapkan menggunakan kekuatan yang dimilikinya di DPR untuk menghadang kebijakan Jokowi-JK yang tidak pro rakyat kecil, termasuk rencana Jokowi-JK melepas harga BBM mengikuti harga pasar dan mencabut subsidi BBM yang merupakan hak rakyat.
Di atas kertas, di DPR Koalisi Merah Putih unggul jauh bila dibandingkan dengan koalisi parpol pengusung Jokowi-JK. Ini adalah sebuah alamat gembira bagi rakyat kecil, bahwa untuk lima tahun kedepan harga BBM tidak bakalan naik, karena jika teguh pada komitmen, Koalisi Merah Putih tentu tidak memberi ruang kepada pemerintah menyakiti rakyat kecil. Koalisi Merah Putih harus mengadvokasi kepentingan wong cilik dalam babak “politik BBM” ini melalui hak budgeting mereka di parlemen.
Benefitnya, tentu saja kembali ke Koalisi Merah Putih. Jika Koalisi Merah Putih mampu konsisten mengawal kepentingan rakyat di DPR, pada Pilpres tahun 2019 mendatang, terbuka peluang besar Capres dari Koalisi ini yang bakal menang. Memenangkan pertarungan politik di Indonesia, hanya soal seberapa konsisten mampu menjaga citra sebagai entitas politik pro rakyat. Semoga.
Sumber: http://www.tribunnews.com/nasional/2...aan-sby-jokowi
Salah satu pernyataan menarik yang bisa kita simak adalah “Ketika Saya Naikan BBM tahun 2005, Saya Tidak Pernah Bilang Bu Mega Bebani Saya”. Pernyataan ini bermata ganda. Selain mengatrol citra Presiden SBY sebagai pemimpin tidak cengeng dengan tidak menyalahkan Presiden sebelumnya, juga secara langsung menikam citra Jokowi. Bila kita tafsirkan, kalimat tersebut bermakna bila Jokowi tipe pemimpin yang suka menyalahkan. Jokowi kalah telak!
Kalau saja Presiden SBY menaikkan harga BBM, tentu lain cerita, citra Jokowi-JK yang selamat sebab tidak harus menaikkan harga BBM di awal masa pemerintahannya nanti. Kini Presiden SBY unggul telak. Dan citra Jokowi-JK terancam anjlok. Melihat pernyataan Jokowi yang mengatakan “saya siap tidak populer”, nampaknya memang sejak awal, bisa kita terka jika esensi babak “politik BBM” ini telah bergeser dari kepentingan rakyat kepada kepentingan citra pemimpin. Bukan lagi bicara soal ruang fiskal, pengelolaan APBN dan kewajiban negara memberi subsidi pada rakyat. BBM bergeser jadi medan pertarungan pencitraan. Dan kalau bicara soal strategi pencitraan, Jokowi salah besar bila melawan SBY yang jauh berpengalaman.
Babak “politik BBM” membuka mata kita semua, memberi pelajaran berharga bagi rakyat. Bahwa sesungguhnya para pemimpin tidak sedang bekerja untuk kita, tapi nampaknya mereka sedang bekerja untuk citra yang telah didewa-dewakannya, dengan meminjam –atau tepatnya menjual- nama rakyat.
Terlepas dari sangat setujunya saya dengan ketegasan Presiden SBY untuk tidak mencabut subsidi BBM, saya kira yang harus kita kritisi adalah adanya ambiguitas atau ketidaktegasan dalam keputusan tersebut. Kita ingin setiap kebijakan pemerintah tendensinya hanya untuk rakyat, kepentingannya hanya untuk melayani, bukan untuk kepentingan pencitraan atau mendongkrak popularitas.
Jokowi dan partai pengusungnya, yang beberapa bulan lalu masih dianggap pro rakyat, pun sama saja. Juga ternyata telah terjebak mendewakan citra. Kita masih ingat dengan sangat segar, PDIP dulu menolak mentah-mentah kenaikan BBM. Selain walk out dari sidang paripurna di DPR, PDIP bahkan mengerakkan massa di berbagai daerah untuk melakukan aksi penolakan kenaikan harga BBM. Salah satu argumentasinya, solusi kompensasi yang ditawarkan oleh pemerintah dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) atau bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) disebut sebagai bentuk politisasi kaum miskin.
Tapi toh, faktanya kini Jokowi, Presiden yang diusung oleh PDIP juga ternyata menawarkan bentuk politisasi masyarakat miskin dengan rencana menerapkan sistem kartu untuk kompensasi jika nantinya harga BBM dinaikkan. Kartu, selama ini menjadi jurus andalan Jokowi yang katanya untuk mengatasi problem di masyarakat bawah. Walaupun bila menilik pada implementasi “jurus kartu” Jokowi di Jakarta ketika menjadi gubernur, ternyata toh banyak bikin masalah baru. Impian menjadikan “jurus kartu” sebagai solusi, jauh panggang dari api.
Posisi Koalisi Merah Putih
Sebagai kekuatan politik yang sangat besar, lalu dimana posisi Koalisi Merah Putih terkait dengan pro kontra subsidi BBM ini? Seperti kita ketahui, pemerintah yang masih absah hingga 20 Oktober nanti adalah pemerintahan Presiden SBY yang berasal dari Partai Demokrat, salah satu komponen Koalisi Merah Putih. Partai Demokrat sendiri telah bersikap melalui pernyataan Ketua Hariannya Syarifuddin Hasan. Pelaksana tugas harian Ketua Demokrat ini mendukung keputusan Presiden SBY untuk tidak menaikkan harga BBM.
Pun dengan partai-partai lain yang tergabung di dalam Koalisi Merah Putih, semua kompak menolak wacana kenaikan harga BBM yang terus dihembuskan oleh kubu Jokowi-JK. Artinya, ketika nanti Jokowi-JK dilantik dan mengambil alih pemerintahan untuk periode 2014-2019, rakyat tentu saja menagih komitmen Koalisi Merah Putih untuk tidak mendukung kenaikan harga BBM. Koalisi besar ini kita harapkan menggunakan kekuatan yang dimilikinya di DPR untuk menghadang kebijakan Jokowi-JK yang tidak pro rakyat kecil, termasuk rencana Jokowi-JK melepas harga BBM mengikuti harga pasar dan mencabut subsidi BBM yang merupakan hak rakyat.
Di atas kertas, di DPR Koalisi Merah Putih unggul jauh bila dibandingkan dengan koalisi parpol pengusung Jokowi-JK. Ini adalah sebuah alamat gembira bagi rakyat kecil, bahwa untuk lima tahun kedepan harga BBM tidak bakalan naik, karena jika teguh pada komitmen, Koalisi Merah Putih tentu tidak memberi ruang kepada pemerintah menyakiti rakyat kecil. Koalisi Merah Putih harus mengadvokasi kepentingan wong cilik dalam babak “politik BBM” ini melalui hak budgeting mereka di parlemen.
Benefitnya, tentu saja kembali ke Koalisi Merah Putih. Jika Koalisi Merah Putih mampu konsisten mengawal kepentingan rakyat di DPR, pada Pilpres tahun 2019 mendatang, terbuka peluang besar Capres dari Koalisi ini yang bakal menang. Memenangkan pertarungan politik di Indonesia, hanya soal seberapa konsisten mampu menjaga citra sebagai entitas politik pro rakyat. Semoga.
Sumber: http://www.tribunnews.com/nasional/2...aan-sby-jokowi
Komentar