Dalam klarifikasinya di Kantor Bawaslu Pusat, Fahri Hamzah menegaskan
pada Bawaslu bahwa kicauannya di Twitter tidak berkaitan dengan santri
dan kiai. Dia mengaku, “Saya sendiri seorang pendidik. Saya juga punya
pesantren, dan saya juga bisa dibilang santri,” (Lensaindonesia.com,
3/7/14).
Lantas, apa pasal Fahri sampai berkicau di akunnya @fahrihamzah, "Jokowi janji 1 Muharram hari santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan dijanjikan kesemua orang. Sinting!" ?
Aha! Fahri menegaskan bahwa ia khawatir pada janji-janji politis (take & give) yang dibuat Jokowi seperti 1 Muharram menjadi hari Santri.
Mungkin Fahri yang pernah menjabat sebagai wakil ketua komisi III DPR RI yang membidangi Legislasi pada tahun 2009 lalu tahu bagaimana Politisi elit memainkan retorika politik legislasinya, lebih lagi terkait meredam gerakan pengakuan (political recognition) dari daerah seperti dengan memberi status otonom untuk Provinsi Aceh dan di momentum politis seperti Pilpres sekarang ini, politisi juga akan melakukan pendekatan ke kelompok sosial tertentu seperti dengan menghangatkan kembali soal akan dirampungkannya UU sertifikasi Halal yang diusul oleh lembaga Majelis Ulama Indonesia.
Terlepas dari Fahri, berdasar pengalaman bagaimana Politisi di Pem. Pusat memperlakukan Aceh, janji 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional sepertinya memang benar-benar harus ditelaah kembali.
Santri Pesantren/Dayah
Jauh sebelum daerah lain memeluk Islam dan Republik Indonesia terbentuk, Pesantren/Dayah sebagai lembaga pendidikan tertua sejak abad ke-12 telah ada di Aceh hingga pada abad ke-17 mampu membawa kerajaan Islam Aceh Darussalam sebagai salah satu negara terkuat bersama empat Negara Islam lainnya di Dunia, yaitu kerajaan Mughal di India, kerajaan Safawi di Isfahan, kerajaan Islam Maroko di Maroko, dan kerajaan Turki Usmani di Turki.
Dalam kanun meukuta alam disebutkan, menguasai ilmu pengetahuan umum dan agama merupakan syarat menjadi Sultan, Menteri, dan Qadhi. Berdasarkan kanun meukuta alam tersebut, Prof. A. Hasjmy berkesimpulan bahwa tujuan dayah waktu itu untuk menghasilkan jenis kegiatan administrasi perkantoran dan kepemimpinan politik dan negara. Meski hanya ada dayah sebagai lembaga pendidikan, kenyataan menunjukkan alumni dayah waktu itu bisa dan mampu mengatur negara dalam berbagai kapasitas (Prof. Hasbi Amiruddin, 2003).
Dalam sejarahnya, Santri Dayah bersama rakyat Aceh terus berperang melawan penjajah Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang.
Pada abad ke-19, Belanda menghancurkan dayah yang dijadikan Mujahidin sebagai basis perlawanan. Kemudian menurut Ahmad Syafii Maarif (1985) Belanda menerapkan dua prinsip politik terhadap umat Islam Indonesia, yaitu bercorak keagamaan dan bercorak politik. Terhadap yang pertama, pemerintah kolonial Belanda menunjukkan sikap toleran dan politik netral. Akan tetapi setiap kecenderungan politik dari gerakan pan-Islam harus dibabat pada kuncupnya.
Belanda melarang dayah mengajar kurikulum yang berhubungan dengan politik dan memonitor dengan ketat aktifitas dayah. Meskipun demikian, tidak ada perubahan pada hukum Syari’at Islam yang berlaku di Aceh, bahkan dayah tetap eksis melahirkan pahlawan untuk memerdekakan Indonesia dan mempertahankannya dari upaya pendudukan Belanda kembali pada agresi kedua (1945-49). Aceh yang berdaulat kemudian menjadi modal utama atau dasar untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional (de jure) sebagai bahagian integral dari Republik Indonesia.
Setelah merdeka dari penjajah luar, Aceh kembali harus berperang. Tidak hanya menghapus Syari’at Islam di Aceh, sejak Perjanjian Lamteh DI/TII Aceh dengan Pem. RI yang tertuang dalam nomor: 1/Missi/1959 tentang Daerah Istimewa, UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan, kesepakatan damai (MoU) GAM dengan Pem. RI di Finlandia dan UU No. 11 Th. 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh terus diberi status/pengakuan tanpa pernah bisa dieksekusi atau diimplementasi secara tuntas.
Syukurnya, pengalaman telah menempa kedewasaan berpolitik Santri dan sebagian besar rakyat Aceh bahwa yang dibutuhkan bukanlah status atau cap jempol pengakuan, tapi kebijakan implementatif sebagai bentuk pemenuhan hak asasi demokrasi mereka, dan merubah pandangan Negara terhadap Santri yang diposisikan di kelas paling bawah dalam UU dan setiap kebijakan. Mereka terus berjuang agar pemisahan (dikotomi) antara pendidikan formal (umum) dengan non-formal (pendidikan agama di lembaga tradisional) itu bisa diminimalisir secara perlahan.
Dan dengan adanya otonomi khusus, setidaknya di Aceh kembali tercatat sejarah baru tentang kebangkitan Santri dan Islam dengan terbentuknya beberapa Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan Syari’at Islam dan pembentukan Badan Pembinaan Pendidikan Dayah/Pesantren (BPPD) di bawah Pemerintahan Aceh seperti Dinas Pendidikan (2007).
Memang terkadang santri di Aceh seperti kehabisan akal, misal ketika Pem. Aceh menghimbau larangan duduk ngangkang di atas motor, penangkapan pelaku mesum dan anak Punk karena dianggap berlawanan dengan nilai islam ke-Acehan malah mendapat penolakan hebat tidak hanya dari politisi Pem. Pusat tapi juga dari kalangan non pemerintah di Nasional dan Internasional. Dan anehnya (hitungan kekuatan politik Santri), Santri di luar Aceh tidak berani memberi dukungan secara terang-terangan kepada Santri Aceh seperti yang dilakukan para penolak Syari’at Islam dari luar Aceh kepada penolak Syari’at Islam yang ada di Aceh. Dan alangkah terkejutnya saya di Aceh ketika tiba-tiba di pulau Jawa terjadi pengatasnamaan santri secara Nasional yang seakan telah solid untuk Hari Santri pada 1 Muharram.
Politik memang suatu disiplin ilmu utak-atik untuk meraih kekuasaan. Sering membingungkan. Kalau inspirasinya karena heroisme Pangeran Diponegoro yang juga seorang santri dan peristiwa perang 10 November di Surabaya, kenapa tidak 10 November saja yang dijadikan Hari Santri Nasional atau hari lahir atau wafatnya Pangeran Diponegoro?
Secara latah-latahan saja, saya membayangkan beberapa efek dari redaksi kalau 1 Muharram menjadi Hari Santri Nasional. Pertama, itu hanyalah sebuah apresiasi bukan kebijakan implementatif yang akan menyetarakan antara Siswa sekolah umum dengan Santri Pesantren tradisional. Kedua, di kalender tidak lagi tertulis ‘Tahun Baru Islam’ tapi ‘Hari Santri Nasional’. Ketiga, mengesankan tahun baru Islam adalah tahunnya para santri seperti yang menyahut ketika dinasihati, “Ah! jangan berkhotbah di sini,” mengesankan seolah kebaikan itu diwajibkan hanya untuk pengkhotbah, dan Sholat hanya diwajibkan untuk ustadz dan ustadzah.
Kalau memang Hari Nasional Santri dianggap paling mendesak dari persoalan strategis Santri lainnya, maka sebaiknya cari tanggal lain saja yang tidak menghilangkan makna dasarnya yang terkadang justru lebih bernilai syi’ar.
Semoga saja Muslimin Indonesia tidak terkotak-kotak dan kedepan tidak ada yang minta hari raya idul adha menjadi Hari Haji dan Hajijah Nasional.
Lantas, apa pasal Fahri sampai berkicau di akunnya @fahrihamzah, "Jokowi janji 1 Muharram hari santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan dijanjikan kesemua orang. Sinting!" ?
Aha! Fahri menegaskan bahwa ia khawatir pada janji-janji politis (take & give) yang dibuat Jokowi seperti 1 Muharram menjadi hari Santri.
Mungkin Fahri yang pernah menjabat sebagai wakil ketua komisi III DPR RI yang membidangi Legislasi pada tahun 2009 lalu tahu bagaimana Politisi elit memainkan retorika politik legislasinya, lebih lagi terkait meredam gerakan pengakuan (political recognition) dari daerah seperti dengan memberi status otonom untuk Provinsi Aceh dan di momentum politis seperti Pilpres sekarang ini, politisi juga akan melakukan pendekatan ke kelompok sosial tertentu seperti dengan menghangatkan kembali soal akan dirampungkannya UU sertifikasi Halal yang diusul oleh lembaga Majelis Ulama Indonesia.
Terlepas dari Fahri, berdasar pengalaman bagaimana Politisi di Pem. Pusat memperlakukan Aceh, janji 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional sepertinya memang benar-benar harus ditelaah kembali.
Santri Pesantren/Dayah
Jauh sebelum daerah lain memeluk Islam dan Republik Indonesia terbentuk, Pesantren/Dayah sebagai lembaga pendidikan tertua sejak abad ke-12 telah ada di Aceh hingga pada abad ke-17 mampu membawa kerajaan Islam Aceh Darussalam sebagai salah satu negara terkuat bersama empat Negara Islam lainnya di Dunia, yaitu kerajaan Mughal di India, kerajaan Safawi di Isfahan, kerajaan Islam Maroko di Maroko, dan kerajaan Turki Usmani di Turki.
Dalam kanun meukuta alam disebutkan, menguasai ilmu pengetahuan umum dan agama merupakan syarat menjadi Sultan, Menteri, dan Qadhi. Berdasarkan kanun meukuta alam tersebut, Prof. A. Hasjmy berkesimpulan bahwa tujuan dayah waktu itu untuk menghasilkan jenis kegiatan administrasi perkantoran dan kepemimpinan politik dan negara. Meski hanya ada dayah sebagai lembaga pendidikan, kenyataan menunjukkan alumni dayah waktu itu bisa dan mampu mengatur negara dalam berbagai kapasitas (Prof. Hasbi Amiruddin, 2003).
Dalam sejarahnya, Santri Dayah bersama rakyat Aceh terus berperang melawan penjajah Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang.
Pada abad ke-19, Belanda menghancurkan dayah yang dijadikan Mujahidin sebagai basis perlawanan. Kemudian menurut Ahmad Syafii Maarif (1985) Belanda menerapkan dua prinsip politik terhadap umat Islam Indonesia, yaitu bercorak keagamaan dan bercorak politik. Terhadap yang pertama, pemerintah kolonial Belanda menunjukkan sikap toleran dan politik netral. Akan tetapi setiap kecenderungan politik dari gerakan pan-Islam harus dibabat pada kuncupnya.
Belanda melarang dayah mengajar kurikulum yang berhubungan dengan politik dan memonitor dengan ketat aktifitas dayah. Meskipun demikian, tidak ada perubahan pada hukum Syari’at Islam yang berlaku di Aceh, bahkan dayah tetap eksis melahirkan pahlawan untuk memerdekakan Indonesia dan mempertahankannya dari upaya pendudukan Belanda kembali pada agresi kedua (1945-49). Aceh yang berdaulat kemudian menjadi modal utama atau dasar untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional (de jure) sebagai bahagian integral dari Republik Indonesia.
Setelah merdeka dari penjajah luar, Aceh kembali harus berperang. Tidak hanya menghapus Syari’at Islam di Aceh, sejak Perjanjian Lamteh DI/TII Aceh dengan Pem. RI yang tertuang dalam nomor: 1/Missi/1959 tentang Daerah Istimewa, UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan, kesepakatan damai (MoU) GAM dengan Pem. RI di Finlandia dan UU No. 11 Th. 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh terus diberi status/pengakuan tanpa pernah bisa dieksekusi atau diimplementasi secara tuntas.
Syukurnya, pengalaman telah menempa kedewasaan berpolitik Santri dan sebagian besar rakyat Aceh bahwa yang dibutuhkan bukanlah status atau cap jempol pengakuan, tapi kebijakan implementatif sebagai bentuk pemenuhan hak asasi demokrasi mereka, dan merubah pandangan Negara terhadap Santri yang diposisikan di kelas paling bawah dalam UU dan setiap kebijakan. Mereka terus berjuang agar pemisahan (dikotomi) antara pendidikan formal (umum) dengan non-formal (pendidikan agama di lembaga tradisional) itu bisa diminimalisir secara perlahan.
Dan dengan adanya otonomi khusus, setidaknya di Aceh kembali tercatat sejarah baru tentang kebangkitan Santri dan Islam dengan terbentuknya beberapa Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan Syari’at Islam dan pembentukan Badan Pembinaan Pendidikan Dayah/Pesantren (BPPD) di bawah Pemerintahan Aceh seperti Dinas Pendidikan (2007).
Memang terkadang santri di Aceh seperti kehabisan akal, misal ketika Pem. Aceh menghimbau larangan duduk ngangkang di atas motor, penangkapan pelaku mesum dan anak Punk karena dianggap berlawanan dengan nilai islam ke-Acehan malah mendapat penolakan hebat tidak hanya dari politisi Pem. Pusat tapi juga dari kalangan non pemerintah di Nasional dan Internasional. Dan anehnya (hitungan kekuatan politik Santri), Santri di luar Aceh tidak berani memberi dukungan secara terang-terangan kepada Santri Aceh seperti yang dilakukan para penolak Syari’at Islam dari luar Aceh kepada penolak Syari’at Islam yang ada di Aceh. Dan alangkah terkejutnya saya di Aceh ketika tiba-tiba di pulau Jawa terjadi pengatasnamaan santri secara Nasional yang seakan telah solid untuk Hari Santri pada 1 Muharram.
Politik memang suatu disiplin ilmu utak-atik untuk meraih kekuasaan. Sering membingungkan. Kalau inspirasinya karena heroisme Pangeran Diponegoro yang juga seorang santri dan peristiwa perang 10 November di Surabaya, kenapa tidak 10 November saja yang dijadikan Hari Santri Nasional atau hari lahir atau wafatnya Pangeran Diponegoro?
Secara latah-latahan saja, saya membayangkan beberapa efek dari redaksi kalau 1 Muharram menjadi Hari Santri Nasional. Pertama, itu hanyalah sebuah apresiasi bukan kebijakan implementatif yang akan menyetarakan antara Siswa sekolah umum dengan Santri Pesantren tradisional. Kedua, di kalender tidak lagi tertulis ‘Tahun Baru Islam’ tapi ‘Hari Santri Nasional’. Ketiga, mengesankan tahun baru Islam adalah tahunnya para santri seperti yang menyahut ketika dinasihati, “Ah! jangan berkhotbah di sini,” mengesankan seolah kebaikan itu diwajibkan hanya untuk pengkhotbah, dan Sholat hanya diwajibkan untuk ustadz dan ustadzah.
Kalau memang Hari Nasional Santri dianggap paling mendesak dari persoalan strategis Santri lainnya, maka sebaiknya cari tanggal lain saja yang tidak menghilangkan makna dasarnya yang terkadang justru lebih bernilai syi’ar.
Semoga saja Muslimin Indonesia tidak terkotak-kotak dan kedepan tidak ada yang minta hari raya idul adha menjadi Hari Haji dan Hajijah Nasional.
Oleh: Andi Saputra, S.HI
(Anggota Litbang Komunitas Demokrasi Aceh Utara. Alumni STAI Al Aziziah Samalanga)
Komentar