Banyak dari Remaja di Indonesia kini menumpang Ideologinya dengan sebuah Prinsip,Budaya,dan Watak yang cukup konyol, mereka beragumen dengan berfilsafat tanpa memiliki dasar yang kokoh, baik tidaknya tidak difikirkan terlalu jauh. mereka berfikir itu adalah sebuah perbedaan ideologi dari setiap aspek kehidupan manusia, tanpa berfikir bahwa perbedaan hal yang tidak perlu dikaji kalau hanya sekedar itu saja, mereka tidak mengkaji terlebih teliti bahwa perbedaan itu seperti hal yang wajib dengan Milyaran lebih manusia yang berbeda cara hidupnya didunia ini. Alangkah baiknya perbedaan yang memang seperti sudah wajib ada ini dipergunakan untuk berbeda dalam hal yang baik agar adanya pembelajaran sebuah bentuk kebaikan yang beragaman.
Ideologi Membentuk Budaya Masyarakat
Telah diketahui
arti ideologi adalah skema untuk membawa masyarakat mencapai kesejahteraan dan
kesempurnaan. Juga diketahui bahwa tiap spesies di dunia ini memiliki sifat dan
kemampuannya sendiri. Karena itu konsepsi tentang kesejahteraan dan
kesempurnaan bagi tiap spesies beda-beda. Kesejahteraan dan kesempurnaan kuda
adalah berbeda dengan kesejahteraan dan kesempurnaan domba atau manusia.
Karena itu, jika
berdasarkan aktualitas masyarakat mengira semua masyarakat sifat dan esensinya
satu, dan keragamannya hanya dalam ruang keragaman individualistis satu
spesies, maka dapat kita katakan dengan benar bahwa pada semua masyarakat ada
satu ideologi yang kuat, dan ideologi ini cukup fleksibel untuk diterapkan pada
semua keragaman individualistis. Namun kalau keragaman masyarakat berarti
keragaman sifat dan esensinya, tentu saja untuk mewujudkan kesejahteraan
masing-masing maka dibutuhkan skema yang beragam pula, dan tak mungkin satu
ideologi untuk semua masyarakat.
Melalui telaah
sosiologis, maka akan jelas bahwa masyarakat adalah beragam, namun pada
dasarnya ada beberapa karakteristiknya yang sama, bahwa keragamannya hanya
bersifat superfisial, bukan fundamental; atau pada dasarnya masyarakat beda
antara yang satu dan yang lainnya, kendatipun secara lahiriah kelihatannya
sama.
Dengan melakukan telaah atas
manusia itu sendiri. Yaitu melihat fakta yang tak terpungkiri bahwa semua
manusia itu spesiesnya satu. Dari sudut pandang biologis, manusia tidak
mengalami perubahan biologis sejak awal eksistensinya. Beberapa ilmuwan
mengatakan bahwa alam, setelah membawa makhluk hidup ke tingkat manusia, telah
berubah jalannya. Alam telah menggeser proses evolusi, dari perubahan biologis
dan fisis ke perkembangan spiritual.
Ketika membahas sosialitas
manusia, bahwa karena spesies manusia itu satu, bukan banyak, dan dasarnya
manusia bersifat sosial. Dengan kata lain, sosialitas manusia dan semangat
kolektifnya merupakan sifat esensialnya yang dibawa sejak lahir. Untuk dapat
mencapai kesempurnaan yang sesuai dengan kemampuannya, manusia memiliki
kecenderungan sosial, dan kecenderungan sosial ini memudahkan lahirnya semangat
kolektif, dan pada gilirannya semangat ini menjadi sarana untuk membawa manusia
mencapai kesempurnaan puncaknya. Fakta bahwa manusia adalah dari spesies
tertentu, yang dapat menentukan skema semangat kolektifnya.Karena individu terkadang
menyimpang dari jalan normal fitrahnya, maka masyarakat juga begitu. Keragaman
masyarakat sama dengan keragaman moral individu, yang masih dalam batas sistem
fundamental manusia. Dengan demikian semua masyarakat, budaya dan semangat
kolektif yang mendominasi masyarakat, sekalipun bentuknya beragam, selalu
memiliki warna manusiawi, dan sifatnya tak mungkin keluar dari sifat manusiawi.
Menurut ajaran Islam, hanya ada
satu agama. Perbedaan yang terjadi dalam hukum baku, semata-mata sekunder
sifatnya, bukan substansial. Kita juga tahu bahwa agama tak lain adalah skema
evolusi individual dan kolektif. Ini menunjukkan bahwa ajaran Islam didasarkan
pada konsepsi yang menyebutkan bahwa jenis masyarakat itu tunggal. Seandainva
masyarakat itu jenisnya banyak, tentu tujuan evolusionernya dan cara mencapai
tujuan tersebut beragam, dan tentu pula agama itu beragam, yang pada dasarnya
antara agama yang satu dan agama yang lain berbeda. Namun Al-Qur'an menegaskan
bahwa hanya ada satu agama di semua tempat dan masyarakat, dan di semua zaman
dan masa. Dari sudut pandang Al-Qur'an, tak pernah ada beragam agama. Yang ada
adalah satu agama.
Semua nabi mendakwahkan dan mengajarkan satu agama, satu
jalan hidup, dan satu tujuan. Al-Qur'an memfirmankan:
Dia telah
mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya. (QS. asy-Syûrâ: 13).
Beberapa ayat Al-Qur'an
mengindikasikan bahwa di mana dan kapan pun para nabi yang diutus oleh Allah
SWT mendakwahkan agama yang sama. Prinsip bahwa pada dasarnya agama tak lebih
dari satu, didasarkan pada konsepsi bahwa semua manusia spesiesnya satu, tak
lebih dari satu. Begitu pula, masyarakat manusia sebagai aktualitas pada
dasarnya jenisnya satu, tidak lebih dari itu. Bahwa pada dasarnya karakter
masyarakat dan budaya modern itu berbeda-beda, tak dapat kita terima. Namun
yang tak dapat dinafikan adalah bahwa bentuk dan kualitas masyarakat dan budaya
modern memang beragam.
Jelaslah, kalau mempercayai teori
bahwa fitrah manusia itu esensial, dan berpandangan bahwa eksistensi kolektif
manusia, kehidupan kolektif manusia dan semangat kolektif masyarakat merupakan
sarana yang dipilih fitrah manusia untuk mencapai kesempumaannya, maka dapat
dikatakan bahwa semua masyarakat, semua budaya dan semua peradaban tengah dalam
proses penyatuan. Masa depan masyarakat manusia berupa satu masyarakat dunia
yang mengalami perkembangan penuh sehingga semua nilai manusiawi yang mungkin
ada akan terealisasi dan manusia akan mencapai kesempurnaan, kesejahteraan dan
pada akhirnya kebajikan yang aktual.
Dari sudut pandang Al-Qur'an,
bahwa pada akhirnya kebenaran yang akan menang dan kepalsuan yang akan sirna,
merupakan fakta yang tak terpungkiri. Pada akhirnya kesalehan dan ketakwaanlah
yang akan jaya. Allamah Thabathaba'i, dalam bukunya "al-Mîzân",
mengatakan:
"Kalau
kondisi dunia ditelaah dengan seksama, maka akan terlihat jelas bahwa di masa
depan manusia, yang juga bagian dari dunia, akan mencapai kesempumaannya.
Al-Qur'an mengatakan bahwa tegaknya Islam di dunia tak terelakkan.
Itulah
bentuk lain dari perkataan bahwa manusia akan mencapai kesempumaannya. Bila
Al-Qur'an mengatakan: ' Wahai orang-orang beriman, barangsiapa di antara
kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum
yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.' (QS. al-Mâ`idah:
54) Maka sesungguhnya Al-Qur'an ingin menegaskan untuk apa perlunya ada alam
semesta, dan ingin menggarnbarkan nasib atau puncak takdir manusia."(al-Mîzân, Jilid 4 halaman 106)
Al-Qur'an
memfirmankan sebagai berikut:Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. (QS. an-Nûr: 55).Di tempat lain
Al-Qur'an memfirmankan:Sesungguhnya bumi ini diwarisi hamba-hamba-Ku yang
saleh. (QS. al-Anbiyâ': 105).
"Islam mencabut prinsip yang
menyebutkan bahwa adanya bangsa-bangsa efektif perannya dalam membentuk
masyarakat. Ada dua faktor utama yang menyebabkan adanya bangsa-bangsa ini.
Faktor pertama adalah kehidupan suku yang primitif yang didasarkan pada
afinitas (persamaan) rasial, dan faktor kedua adalah perbedaan wilayah geografis.
Kedua faktor ini merupakan penyebab utama terbaginya umat manusia menjadi
bangsa-bangsa dan suku-suku. Kedua faktor ini juga merupakan sumber perbedaan
bahasa dan warna kulit. Kedua faktor ini pada tahap selanjutnya merupakan
alasan kenapa setiap bangsa menguasai wilayah tertentu, lalu menyebutnya tanah
airnya dan mempertahankannya. Sekalipun ini merupakan proses yang alamiah,
namun membawa sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia. Fitrah manusia
ini menghendaki seluruh umat manusia hidup sebagai satu keseluruhan dan satu
unit. Hukum alam juga didasarkan pada menyusun apa yang berserak dan menyatukan
apa yang terpisah. Melalui proses ini alam mencapai tujuannya.
Efektivitas hukum
ini akan kelihatan kalau kita telaah fenomena alam dan kalau kita tahu mengapa
materi primer berbentuk elemen dan kemudian berbentuk tumbuhan, kemudian
berbentuk binatang dan akhirnya berbentuk manusia. Bangsa-bangsa dan suku-suku
meski menyatukan orang-orang yang sama negaranya dan sama sukunya, namun juga
menempatkan orang-orang ini berhadap-hadapan dengan unit-unit manusia lainnya.
Orang-orang yang sama negaranya memandang satu sama lain sebagai saudara,
memandang orang-orang yang tidak senegara sebagai orang asing, dan memandang
mereka seakan-akan objek tak bernyawa yang hanya layak dieksploitasi. Itulah
sebabnya mengapa Islam menghapus perbedaan bangsa dan suku, suatu perbedaan
yang memecah-belah ras manusia. Islam menyatakan bahwa iman (upaya menemukan
kebenaran yang memiliki nilai yang sama bagi semua orang dan yang tentu saja
jadi kecenderungan semua orang), bukannya ras, negara atau kebangsaan,
merupakan tempat berkumpulnya umat manusia. Bahkan dalam masalah-masalah
seperti nikah dan waris, Islam menegaskan seiman sebagai kriterianya."
(al-Mîzân, Jilid 4 halaman 132-133).
"Umat manusia, atas kekuatan
fitrahnya, secara kolektif berupaya mewujudkan kesejahteraan dan kesempurnaan
sejati. Dengan kata lain, ingin mencapai posisi yang paling tinggi dalam
kehidupan material dan spiritual, dan kelak umat manusia tentu akan mencapai
posisi itu. Islam, karena merupakan agama monoteisme sejati, memberikan skema
untuk meraih tujuan yang didambakan ini. Penyimpangan yang menjadi nasib
manusia ketika manusia menempuh perjalanan panjang untuk sampai ke tujuan ini,
jangan diartikan bahwa fitrah manusia atau kematiannya tidak memiliki kekuatan
hukum. Sesungguhnya manusia selalu mendapat instruksi otoritatif dari
fitrahnya. Penyimpangan dan kesalahan terjadi akibat semacam salah menerapkan
instruksi otoritatif fitrahnya. Cepat atau lambat kelak manusia akan meraih kesempurnaan
itu, kesempurnaan yang diupayakannya atas dasar fitrahnya. Konsepsi ini dapat
disimpulkan dari Al-Qur'an Surah ar-Rûm: 30-41. Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa
instruksi otoritatif fitrah manusia bersifat final, dan bahwa manusia pasti
akan menemukan jalannya setelah melakukan beberapa eksperimen dan setelah
mencari ke mana-mana. Begitu menemukan jalannya, manusia akan tetap
padajalannya ini. Jangan dengarkan orang-orang .yang mengatakan bahwa Islam
merupakan satu tahap budaya manusia yang sudah selesai misinya dan sekarang
Islam tak lebih dari sebuah peninggalan sejarah yang masa pakainya lebih lama
daripada kegunaannya. Islam, dalam pengertian yang kita tahu dan kita bahas,
adalah kesempumaan puncak yang kelak pasti dicapai manusia, karena kesempumaan
puncak merupakan tuntutan hukum alam." (al-Mîzân, Jilid 4 halaman 14).
Sebagian
berpandangan menyatakan bahwa Islam sama sekali tidak menganjurkan budaya dan
masyarakat manusia yang tunggal. Islam justru mendukung dan mengakui budaya dan
masyarakat yang beragam. Mereka mengatakan bahwa kepribadian dan identitas
suatu bangsa sama dengan budayanya, sedangkan budaya mewakili semangat atau
jiwa kolektifnya. Jiwa kolektif suatu bangsa terbentuk oleh sejarah khusus
bangsa tersebut, dan sejarah khusus ini tidak di-miliki bangsa lain. Alam
membentuk manusia. Sejarah membentuk budaya manusia, kepribadiannya dan ego
sejatinya. Setiap bangsa memiliki karakteristiknya dan budaya khasnya, dan
karakteristik serta budaya khas ini membentuk kepribadiannya. Kalau suatu
bangsa melindungi budayanya, sesungguhnya artinya adalah bahwa bangsa itu
melindungi identitasnya.
Dikatakan bahwa agama adalah
ideologi, iman dan sentimen serta tindakan yang lahir dari iman. Sedangkan
nasionalitas adalah "kepribadian" dan segi-segi khas yang diciptakan
oleh jiwa yang sama dari individu-individu yang bernasib sama. Karena itu
hubungan antara nasionalitas dan agama persis seperti yang terjadi antara
kepribadian dan iman. Juga dikatakan bahwa kalau Islam menentang diskriminasi
rasial dan hegemoni nasional, itu tidak berarti Islam menentang keragaman
nasionalitas dalam masyarakat manusia. Prinsip persamaan hak dalam Islam tidak
berarti menolak nasionalitas. Artinya justru Islam mengakui eksistensi nasionalitas
sebagai fakta tak terbantahkan dan fenomena alam yang tak teringkari. Ayat
berikut ini, yang sering dikutip sebagai hujah penolakan Islam akan
nasionalitas, sesungguhnya menegaskan dan mendukung eksistensi nasionalitas.
Ayat Quran menyatakan:“Wahai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah adalah yang paling takwa”. (QS. al-Hujurât: 13)
Pertama; ayat ini
menyebutkan golongan-golongan manusia dari sudut pandang jenis kelamin. Dan
golongan seperti ini alamiah sifatnya. Segera setelah itu ayat ini menyebutkan
penggolongan selanjutnya dari sudut pandang bangsa dan suku. Ini menunjukkan
bahwa penggolongan kedua ini juga alamiah dan merupakan takdir Allah SWT,
seperti halnya penggolongan manusia menjadi laki-laki dan perempuan. Karena itu
jelaslah kalau Islam menginginkan hubungan khusus antara laki-laki dan perempuan,
dan tidak ingin menghapus perbedaan jenis kelamin, maka Islam juga mendukung
terbinanya hubungan antarbangsa berdasarkan persamaan hak, dan tidak
menginginkan terhapusnya kebangsaan. Fakta bahwa Al-Qur'an menyebutkan bahwa
Allahlah yang menciptakan bangsa-bangsa, dan Allah jugalah yang menciptakan
laki-laki dan perempuan, artinya adalah bahwa eksistensi bangsa-bangsa
merupakan realitas alamiah yang selaras dengan skema alam semesta. Fakta bahwa
Al-Qur'an menyebut saling mengenal sebagai filosofi di balik eksistensi banyak
bangsa, menunjukkan bahwa setiap bangsa memiliki karakter khusus, dan karena
karakter khusus inilah maka bangsa yang satu beda dengan bangsa yang lain, dan
karakter khusus ini juga yang mengkristalisasikan dan melahirkan kepribadian setiap
bangsa.
Manusia, dengan kekuatan
fitrahnya, setidaknya secara potensial, memiliki kepribadian tertentu
dan
tujuan tertentu yang didasarkan pada karakter bawaannya, suatu karakter
yang
diberikan oleh Tuhan kepadanya, dan karakter bawaan ini membentuk "diri"
sejatinya. Distorsi yang terjadi pada karakter dasarnya dan
dehumanisasinya
harus dinilai dengan standar kualitas esensial dan bawaannya, bukan
dengan
standar sejarah. Budaya yang sesuai dengan fitrah manusia dan yang
membantu
perkembangan fitrah, maka budaya itu adalah sebenar-benar budaya,
sekalipun
budaya itu mungkin saja bukan budaya pertama yang didapatnya dari
kondisi
sejarah. Dan budaya yang tidak sesuai dengan fitrahnya, maka budaya itu
asing
baginya, semacam penyimpangan identitasnya, dan berarti pemalsuan
"diri"-nya, kendatipun mungkin saja produk sejarah bangsanya.
Misalnya, ajaran tentang dualitas dan pengkudusan api merupakan
penyimpangan
manusia Iran, meskipun diyakini sebagai produk sejarah Iran. Sebaliknya,
ajaran tentang monoteisme dan penolakan untuk menyembah selain Allah
SWT
merupakan kembali ke identitas sejati manusia, kendatipun ajaran
tersebut
mungkin bukan produk tanah air bangsa Iran.
Kedua; ada yang
mengatakan bahwa agama adalah iman, sedangkan nasionalitas adalah
identitas pribadi, bahwa hubungan antara keduanya ini adalah hubungan iman dan
kepribadian, dan bahwa Islam menegaskan dan mengakui kepribadian bangsa
sebagaimana adanya, sama saja dengan menafikan misi terpenting agama. Misi
agama, khususnya agama Islam, adalah menanamkan konsepsi tentang dunia, suatu
konsepsi yang didasarkan pada pengetahuan yang benar tentang sistem universal
yang mempengaruhi prinsip-prinsip tauhid, untuk membangun kepribadian spiritual
dan moral manusia dengan berlandaskan konsepsi itu, dan untuk mendidik individu
dan masyarakat dengan suatu dasar yang menunjukkan fondasi suatu budaya baru,
budaya yang manusiawi, bukan kebangsaan. Islam membawa suatu budaya untuk
dunia, budaya yang sekarang dikenal sebagai budaya Islam. Islam melakukan itu
bukan semata-mata karena setiap agama begitu ada kontak dengan budaya yang ada,
kurang lebih mempengaruhi budaya yang ada itu atau justru dipengaruhi budaya
yang ada itu. Alasannya adalah membawa budaya baru merupakan bagian dari misi
agama Islam. Misi Islam antara lain adalah melucuti manusia dari budayanya,
suatu budaya yang semestinya tidak menjadi budayanya, kemudian memberi manusia
budaya yang bukan budayanya namun semestinya menjadi budayanya, dan menegaskan
kepada manusia tentang apa yang dimilikinya dan apa yang semestinya
dimilikinya.
Ketiga; Surah al-Hujurât
ayat 13 tidak berarti mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan kamu dalam dua
jenis kelamin, sehingga dapat dinyatakan bahwa dalam ayat ini yang mula-mula
disebutkan adalah penggolongan manusia dari segi jenis kelamin, dan segera
setelah itu disebutkan penggolongan yang lain dari segi kebangsaan. Tak dapat
diklaim bahwa ayat ini menunjukkan perbedaan jenis kelamin itu alamiah, karena
itu ideologi harus dirumuskan dengan berdasarkan perbedaan ini, bukan
berdasarkan penolakan akan perbedaan ini, dan bahwa hal yang sama berlaku pula
untuk keragaman bangsa.
Sesungguhnya arti
ayat ini adalah "Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan." Maksud ayat ini adalah bahwa semua manusia adalah keturunan
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, atau bahwa semua manusia adalah
sama sepanjang masing-masing beribu-bapak satu, dan dalam hal ini tak ada
perbedaan.
Keempat; frase agar kamu
saling mengenal, yang disebutkan sebagai tujuannya, tidak berarti bahwa
terjadinya keragaman bangsa adalah untuk tujuan ini. Karena itu salah kalau
berkesimpulan bahwa bangsa-bangsa harus independen personalitasnya sehingga
antara bangsa yang satu dan bangsa yang lain dapat dibedakan. Seandainya
tujuannya seperti ini, maka frase yang digunakan bukannya agar kamu saling
mengenal melainkan semestinya agar mereka saling mengenal Ayat ini mengatakan
bahwa keragaman ini ada hikmahnya, dan hikmah tersebut adalah agar mereka
saling mengenal melalui suku dan bangsa mereka. Kita tahu bahwa tujuan ini
dapat dicapai dengan cara lain pula, dan bangsa-bangsa serta
komunitas-komunitas tidaklah perlu personalitasnya tetap independen terhadap
satu sama lain.
Kelima; pembicaraan
sebelumnya tentang teori Islam mengenai ketunggalan dan keragaman karakter
masyarakat sudah cukup untuk membuktikan kesalahan teori di atas. Dalam
pembahasan itu sudah kami jelaskan bahwa secara alamiah masyarakat melangkah
menuju terbentuknya satu masyarakat dan satu budaya. Dalam Islam, filosofi
Mahdisme didasarkan pada konsepsi tentang masa depan Islam, manusia dan dunia
ini.
Komentar